Sejumlah pria duduk di Bale Glebeg di Desa Tenganan Pegringsingan. Mereka bercengkerama sambil mendengar tembang Bali.
Sejumlah perkakas dapur seperti nampan, wadah nasi, hingga piring, dijemur di seberang bale. Adapun beberapa perempuan juga asik mengobrol di Bale Banjar.
Salah satu penduduk Tenganan Pegringsingan, Juwita, menuturkan sejumlah warga desa tersebut baru saja selesai menggelar upacara adat tiga bulanan seorang anak. "Rangkaian acaranya baru selesai tadi pagi," tuturnya kepada detikBali, Jumat (5/9/2025).
Siang itu, saya menyusuri Desa Tenganan Pegringsingan. Desa seluas 917,2 hektare itu memiliki ciri khas yakni budaya Bali zaman pra-Majapahit atau dikenal dengan sebutan Desa Bali Aga.
Pengunjung cukup membayar donasi dan mencatat nama di buku tamu sebelum masuk Desa Tenganan Pegringsingan. Besaran sumbangan tak dipatok oleh pengelola desa adat tersebut.
Pengunjung bisa melihat rumah warga Desa Tenganan Pegringsingan. Tempat tinggal tersebut berjejer di kiri dan kanan. Hunian penduduk desa terdiri dari bale buga (tempat memuja Tuhan dan leluhur), jelanan awang (pintu keluar-masuk rumah adat Bali), bale tengah (tempat upacara perkawinan), bale meten (tempat tidur), paon (dapur), jelanan teba, lesung, jalikan, sanggah (tempat pemujaan), natah (halaman depan), hingga delod teba (kamar mandi).
Adapun sejumlah bale berdiri di tengah jalan. Bale-bale itu memiliki nama berbeda, misalkan Bale Agung, Bale Glebeg, dan Bale Banjar. Tempat pertemuan warga tersebut beratapkan jerami dan disangga oleh kayu.
Sejumlah pura berdiri di Desa Tenganan Pegringsingan. Tempat beribadah juga dinamai seperti Pura Ulun Swarga dan Pura Petung.
Tanah berbatu dan berumput menjadi jalan yang membelah Desa Tenganan Pegringsingan. Terdapat tiga banjar (dusun) di sana antara lain Banjar Kauh di barat, Banjar Tengah, dan Banjar Pande di timur.
            
            
                Simak Video "Video Harum Menggoda Kue Laklak, Jajanan Pasar Legendaris Buleleng"
    
(gsp/hsa)