Selain dikenal dengan keindahan alam dan kuliner yang menggugah selera, Bali juga menyimpan berbagai destinasi wisata spiritual yang layak dijelajahi. Salah satunya adalah Penglukatan Pancoran Solas Alas Tapa yang terletak di Desa Peninjoan, Kecamatan Tembuku, Bangli.
Nama Alas Tapa sendiri berasal dari kata "alas" yang berarti hutan, dan "tapa" yang berarti meditasi atau yoga. Nama ini mencerminkan usaha mendekatkan diri kepada Tuhan demi mencapai kesejahteraan. Menurut cerita, Bhatara Dalem Tarukan yang bersemayam di Dalem Tarukan beryoga di Alas Tapa untuk memohon kedamaian dan kesuburan karena saat itu sedang terjadi peperangan.
Alas Tapa juga diyakini sebagai tempat khusus bagi tokoh spiritual pada masa lampau yang melakukan Tapa yoga untuk mencapai moksa atau kebahagiaan lahir dan batin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut informasi dari situs resmi peninjoan.desa.id, Pancoran Solas Alas Tapa dianggap sebagai tempat keramat oleh masyarakat setempat. Setelah tempat ini ditata ulang, makin banyak orang yang datang untuk melakukan ritual melukat, tidak hanya dari desa, tetapi juga dari luar daerah. Banyak yang merasa lebih baik setelah melukat di sini. Bahkan, beberapa pengunjung mengaku usaha mereka makin lancar setelah melakukan penglukatan di tempat ini.
Pancoran Solas Alas Tapa memiliki sebelas pancoran yang diyakini membawa kesejahteraan dan mampu menolak bala (musibah atau bahaya). Pancoran ini terletak di bawah tebing Alas Tapa, tepatnya di lembah Subak Tabunan. Setiap pancoran berasal dari sumber mata air yang berbeda dan dialirkan menjadi sebelas pancoran dengan nama-nama unik, seperti Tirta Alas Tapa, Tirta Bulan, dan Tirta Sudamala.
Pengunjung dapat melakukan penglukatan atau penyucian diri pada hari-hari tertentu. Waktu yang disarankan untuk melukat adalah pada saat hari-hari suci, seperti purnama, tilem, atau banyu pinaruh. Air tirta dari pancoran ini juga digunakan untuk berbagai upacara (wali-wali) di pura-pura yang ada di Desa Peninjoan.
Namun, bagi yang sedang berhalangan seperti menstruasi, tidak diperbolehkan mengikuti ritual penglukatan. Selama proses melukat, peserta tidak diperkenankan mengenakan kaus. Bagi pria, diwajibkan menggunakan kain tanpa atasan, sementara wanita harus memakai kain yang menutupi hingga dada.
Ritual penglukatan dimulai dari pancoran pertama di sebelah barat, kemudian secara perlahan setiap orang membasuh diri di setiap pancoran hingga mencapai pancoran paling timur. Setelah selesai, para pemedek (orang yang telah melukat) dapat mengganti pakaian dan melanjutkan sembahyang di Pura Subak Tabunan.
Artikel ini ditulis oleh Ni Komang Nartini, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(hsa/hsa)