Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Bali memonitor warga yang mendapatkan sanksi kasepekang dari desa adat. Hal ini menjadi salah satu potensi kerawanan di tempat pemungutan suara (TPS) saat pencoblosan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
Ketua Bawaslu Bali, I Putu Agus Tirta Suguna, menegaskan warga yang mendapatkan sanksi kasepekang dari desa adat tetap mendapatkan hak pilih saat pencoblosan Pilkada 2024. Bawaslu Bali telah melakukan pengawasan sejak saat pemetaan data pemilih.
"Karena kan kadang-kadang konflik adat itu mereka dikeluarkan dari adatnya, kasepekang, dikucilkan, tetapi apakah mereka tidak diberikan hak untuk hak pilih," kata Agus saat berkunjung ke kantor detikBali, Jumat (22/11/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agus menegaskan Bawaslu Bali mencermati kasus kasepekang karena berkaca dari Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Saat itu ada konflik desa adat di Gianyar dan Nusa Penida, Klungkung.
"Nah itulah yang kami jadikan potensi permasalah nanti di pilkada. Karena kan hubungan emosional itu sangat dekat sekali sehingga potensi-potensi konflik adat itu akan memicu terkait dengan gesekan-gesekan terjadi di TPS," terang Agus.
Agus menegaskan warga yang mendapatkan sanksi kasepekang dari desa adat jumlahnya memang tidak banyak. Jumlahnya juga tidak akan memengaruhi hasil Pilkada 2024. Namun, hal ini berkaitan hak masyarakat untuk memilih.
Selain itu, adanya warga kasepekang dari desa adat juga memengaruhi proses pelaksanaan Pilkada 2024. Sebab, pemilu atau pilkada dijadikan sebagai momentum untuk mengekspos intimidasi yang mereka alami di desa adat.
"Sehingga kalau itu sudah diekspos kan menjadi hak-hak adat itu dikesampingkan, hak-hak konstitusilah yang dikedepankan. Momen itu dipakai oleh mereka untuk mencari pengakuan dan sebagainya. Itulah yang kita mitigasi," tegas Agus.
Menurut Agus, penyelenggara juga mengalami kesulitan dalam memberikan hak pilih bagi masyarakat yang kasepekang. Sebab, sanksi adat biasanya juga berkaitan dengan fasilitas. Walhasil, warga yang terkena kasepekang dilarang menginjakan kaki di bangunan-bangunan milik desa adat.
Namun, di satu sisi, bangunan milik desa adat seperti wantilan atau balai banjar kerap dijadikan sebagai TPS. Hal ini pernah terjadi saat konflik adat di Nusa Penida sehingga Bawaslu Bali mencari solusi terbaik agar warga kasepekang bisa tetap memilih.
Bawaslu Bali sempat menyarankan agar TPS dipindahkan ke lokasi lain sehingga tidak menggunakan fasilitas adat. Namun, situasi itu menyebabkan anggaran TPS membengkak di luar kemampuan KPU.
"Makanya kami berikan solusi (opsi) b, terpaksa waktu yang dipergunakan itu yang kami atur. Umpama dari 14 orang ini pagi hari mereka diberikan hak, saya tungguin waktu itu," kisah Agus.
Kini di Pilkada 2024, Bawaslu Bali kembali mengantisipasi hal serupa. "Sudah kami siapkan dan sudah kami koordinasikan karena eksekusi kan ada di KPU. Kami sebagai proses koordinasi saja, mediasi terkait hal-hal yang terjadi," ungkap Agus.
(iws/gsp)