Pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur Bali, Made Muliawan Arya-Putu Agus Suradnyana (Mulia-PAS) dan Wayan Koster-I Nyoman Giri Prasta (Koster-Giri) telah bergerilya menyampaikan visi misinya selama tiga pekan tahapan kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 berjalan. Dua paslon tersebut kerap menyambangi Kabupaten Buleleng.
Sesuai jadwal kampanye yang diterima detikBali, masing-masing paslon telah berkampanye ke Buleleng sebanyak tiga hari. Dalam sehari, mereka bisa menyambangi hingga lima tempat di beberapa kecamatan di Buleleng. Padahal, dalam jadwal yang telah ditentukan KPU Bali, Buleleng tergabung di zona satu bersama Badung, Tabanan, dan Jembrana.
Melihat masifnya kunjungan kedua paslon tersebut ke Buleleng, pengamat politik dari Universitas Udayana (Unud), Efatha Filomeno Borromeu, menilai Buleleng memiliki sejarah politik yang kuat karena banyak melahirkan tokoh politik. Ditambah, masyarakat Buleleng kritis dan militan dengan urusan politik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Secara historis memang masyarakat Buleleng ini punya hubungan yang kuat ya dengan gerakan-gerakan politik progresif, baik di tingkat lokal maupun di tingkat nasional," ujar Efatha kepada detikBali, Senin (7/10/2024).
Efatha menjabarkan bahwa dengan keterlibatan masyarakat secara langsung dalam proses demokrasi, dipercayai akan mengubah nasib dari masyarakat Buleleng sendiri. "Maka dengan militansi dan juga jiwa kritis ini menciptakan lingkungan politik yang secara aktif akan terus bertumbuh," jelas dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Unud itu.
Sebab, lanjutnya, secara sosiologis masyarakat berkeyakinan bahwa tindakan politik dapat memberikan dampak bagi perubahan sosial. Apalagi, dengan janji-janji dan narasi politik yang disampaikan oleh paslon, mewarnai kompleksitas perpolitikan di kabupaten yang terletak ujung utara Bali itu.
"Dan masyarakat-masyarakat di sana terus mengevaluasi ya, narasi-narasi yang dilemparkan dari kandidat kepada konstituen," imbuhnya.
Pria berdarah Timor Leste itu juga menyampaikan bahwa masyarakat Buleleng telah memiliki bekal politik akibat banyaknya tokoh-tokoh politik nasional yang terbentuk di sana. Misalkan mantan gubernur Bali, I Made Mangku Pastika.
"Jadi kebutuhan lokal itu harus diperhatikan, bagaimana fleksibilitas otonomi daerah ini akan terus terlihat," tutur Efatha.
Dengan melihat Koster dan Agus yang berasal dari Buleleng juga, akan sangat menarik dan menjadi dinamika politik yang sangat kompleks untuk Buleleng.
"Maka otomatis akan ada satu proses politik yang sangat-sangat menarik untuk kita lihat. Jadi saya melihat bahwa Buleleng ini tidak bisa dianggap bahwa hanya karena memiliki DPT terbanyak otomatis semua akan merebut," paparnya.
Namun, secara sosial budaya, pemahaman masyarakat yang banyak berpikiran bahwa Buleleng selalu mencetak tokoh-tokoh politik setingkat nasional.
"Saya kira ini tentu akan menjadi percontohan perpolitikan Bali di era modern hari ini. Bagaimana kita melihat politik itu tidak selalu urusan identitas mengalahkan sesuatu. Kalau sebelumnya Pak Koster tidak ada penyeimbang ya sebelum ada Pak PAS, karena dianggap akan dimenangkan pasangan dari Buleleng," ungkap dia.
Namun, saat ini ia menilai ada keseimbangan di dua paslon cagub-cawagub Bali itu. Maka, ia berpendapat polarisasi strategi kampanye harus diubah total sesuai dengan hati masyarakat. "Kalau nggak begitu, masyarakat punya hak untuk tidak memilih," tandasnya.
(nor/iws)