Kepala Dinas Pariwisata (Kadispar) Lombok Tengah Lalu Sungkul, menilai bahwa Kecimol bukan kesenian budaya khas Suku Sasak. Pernyataan itu untuk menanggapi desakan pencabutan peraturan desa (perdes) yang melarang kesenian Kecimol di sejumlah wilayah.
Menurut Sungkul, keberadaan alat musik tersebut cenderung bertentangan tradisi dan budaya Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah apakah Kecimol ini masuk dalam nilai budaya kita? Tidak. Joget-joget vulgarnya itu juga tidak, kalau dulu jangankan joget seperti itu, pegangan tangan sedikit sudah patah tangan kita. Itu lah yang harus kita pertahankan," kata Sungkul saat ditemui, Selasa (14/10/2025).
Ia menjelaskan Kecimol tidak termasuk alat musik kesenian yang monumental seperti Gendang Beleq, Genggong, atau Kelentang. Menurutnya, Kecimol justru muncul dari berbagai pengaruh luar yang dikumpulkan tanpa akar budaya yang jelas.
"Tapi Kecimol ini kan pungut sini, pungut sana, sebagai jadi sebuah kesenian yang disebut Kecimol. Jadi lama-lama musik kita hilang identitasnya," ujarnya.
Meski begitu, Sungkul tidak berencana membubarkan kelompok musik Kecimol. Ia hanya mendorong agar penampilan Kecimol diubah dari pengiring tradisi Nyongkolan menjadi pertunjukan panggung yang lebih tertata.
"Artinya, kemasannya yang perlu dirubah, jangan terlalu vulgar. Terlebih-lebih masyarakat kita itu religius," tegasnya.
Sungkul juga memahami alasan sejumlah desa seperti Mertak Tombok melarang Kecimol tampil di wilayahnya. Menurutnya, desa tersebut dikenal sebagai kawasan religius dengan banyak pesantren dan lembaga pendidikan Islam.
"Kenapa Desa Mertak Tombok selalu melarang, ingat di sana itu banyak pesantren. Itu yang saya bilang bahwa bukan hanya Mertak Tombok, tetapi ketika melewati ada TPQ, pesantren dan majelis ta'lim itu juga tidak elok membunyikan sound," bebernya.
Sungkul meyakini jika Asosiasi Kecimol (AK) NTB belum tentu bisa mengawasi seluruh anggota. Sehingga, pemerintah perlu menata lebih baik agar tak menimbulkan gejolak.
"Jadi tanpa harus membubarkan, lebih baik berpikir cara kemasannya. Misalnya, ada pentas, panggung, untuk menghadirkan penampilan lebih baik,"imbuhnya.
Dari sisi pariwisata, Sungkul menegaskan Kecimol belum bisa dikategorikan sebagai daya tarik wisata Lombok Tengah. Ia menilai pengembangan pariwisata justru harus berangkat dari pelestarian budaya lokal yang otentik.
"Tidak selalu menghalalkan semua cara untuk meningkatkan ekonomi. Jadi kita pengembangan pariwisata itu justru dilakukan dengan cara mempertahankan budaya kita," pungkasnya.
Sebelumnya, warga yang tergabung dalam AK NTB mendatangi kantor Komisi II DPRD Lombok Tengah. Mereka meminta agar peraturan desa (perdes) yang melarang kesenian Kecimol di sejumlah desa dicabut. AK NTB menilai aturan tersebut diskriminatif dan tidak diiringi pembinaan.
"Kami sampaikan juga tadi adanya Perdes-Perdes yang sangat diskriminatif. Bayangkan, Ale-ale yang melakukan goyang erotis, Kecimol yang kena," kata Hardy kepada awak media seusai audiensi dengan Komisi II DPRD Lombok Tengah, Senin (13/10/2025).
Kecimol merupakan kesenian khas masyarakat Lombok yang biasa digunakan dalam tradisi nyongkolan, rangkaian perayaan pernikahan warga Suku Sasak.
Hardy menilai Kecimol kerap dijadikan kambing hitam atas berbagai masalah yang muncul saat nyongkolan, mulai dari kemacetan hingga keributan.
"Jalan macet, lagi-lagi Kecimol yang kena. Padahal itu kan tanggung jawab dari pihak-pihak pengaman atau pengatur lalu lintas setempat. Yang lain lagi, orang kelahi lagi-lagi kami yang disalahin. Padahal itu bukan anggota Kecimol yang kelahi," ujarnya.
Menurut Hardy,perdes pelarangan seharusnya tidak diberlakukan secara menyeluruh karena tak semua grupKecimol membuat masalah.
Hardy juga menanggapi keresahan masyarakat terkait beredarnya video goyang erotis dari sejumlah penari perempuan yang dikaitkan dengan Kecimol. Ia menegaskan bahwa para penari dalam video tersebut bukan bagian dari AK NTB.
(nor/nor)