Warga Ulayat Tolak Penjualan Lahan Bekas Proyek Kebun PBB di Manggarai Barat

Warga Ulayat Tolak Penjualan Lahan Bekas Proyek Kebun PBB di Manggarai Barat

Ambrosius Ardin - detikBali
Minggu, 12 Okt 2025 18:18 WIB
Lahan bekas lahan proyek International Fund for Agricultural Development (IFAD) di Desa Mata Wae, Kecamatan Sano Nggoang, Manggarai Barat, NTT. (Istimewa)
Foto: Lahan bekas lahan proyek International Fund for Agricultural Development (IFAD) di Desa Mata Wae, Kecamatan Sano Nggoang, Manggarai Barat, NTT. (Istimewa)
Manggarai Barat -

Sejumlah warga Desa Mata Wae, Kecamatan Sano Nggoang, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), menolak rencana penjualan lahan bekas lahan proyek International Fund for Agricultural Development (IFAD) seluas 300 hektare (ha). IFAD adalah badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfokus pada penanggulangan kemiskinan dan kelaparan di daerah pedesaan negara-negara berkembang.

Warga Mata Wae menyampaikan surat sanggahan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Manggarai Barat untuk mencegah proses penjualan lahan tersebut oleh pihak yang mengeklaim memiliki kuasa atas tanah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami memandang perlu untuk menyanggah secara serius proses penjualan lahan Proyek IFAD," tegas juru bicara warga, M. Syukur Abdulah, Sabtu (11/10/2025).

Syukur menjelaskan lahan proyek IFAD di Desa Mata Wae merupakan tanah ulayat masyarakat setempat. Lahan itu awalnya dilepas secara adat untuk program perkebunan jambu mete yang dibantu IFAD dan dibagikan kepada 275 warga pada 1997-1998. Namun proyek tersebut gagal dan sempat tersangkut persoalan hukum.

ADVERTISEMENT

"Oleh beberapa mahasiswa dari anak cucu orang Mata Wae persoalan ini dibawa ke ranah hukum hingga sampai berproses di Kejaksaan Negeri Manggarai," jelas Syukur.

"Situasi inilah dijadikan rujukan beberapa alasan yang kuat kenapa kami yang tergabung dari anak cucu orang Mata Wae menyanggah penjualan lahan proyek IFAD ini," lanjut dia.

Syukur menjelaskan luas lahan yang dibagi oleh ulayat kepada 275 orang pada 1997-1998 itu berbeda dengan luas lahan yang ada dalam sertifikat Prona yang diambil melalui foto satelit. Sertifikat Prona penerima lahan itu selama ini dipegang oleh Dinas Pertanian (Distan) Kabupaten Manggarai Barat.

Dalam dokumen pembagian lahan untuk proyek IFAD oleh ulayat, jelas dia, setiap orang mendapatkan lahan satu hektare, tapi dalam sertifikat luas lahan ratusan orang itu bervariasi. Ada yang kurang dari satu hektare, lebih dari satu hektare, bahkan hampir empat hektar.

"Dari 275 pemilik lahan yang terbagi dalam 14 kelompok tani, ada yang luas lahannya tetap 1 ha, ada yang hanya 2.000 (m2), 3000, 4.000, 5.000 m2. Anehnya ada yang luas lahannya hampir 4 hektar atau 38.950 m2, sangat bervariatif," ungkap Syukur.

Selain soal ukuran, penerima lahan itu juga dinilai janggal. Ada sejumlah nama pemilik sertifikat lahan yang pada saat pembagian lahan itu masih berusia remaja yang mustahil saat itu dibagikan lahan.

Selain perbedaan luas, penerima lahan juga dinilai janggal. Beberapa nama dalam sertifikat disebut masih berusia remaja saat lahan dibagikan. Sementara itu, sejumlah tokoh adat seperti mantan Tua Golo (pemimpin tetua kampung) Naga, Muhamad Sarinas, dan mantan Kepala Desa Mata Wae periode 1980-1998, Muhamad Sali, tidak tercantum sebagai penerima, padahal nama mereka ada dalam dokumen pembagian ulayat.

Syukur juga menyoroti adanya aparatur sipil negara (ASN) yang bukan warga Desa Mata Wae tapi tercatat sebagai penerima lahan. Bahkan ada ASN yang mendapatkan lahan hingga 38.950 meter persegi atau hampir 4 hektare. Tercatatnya nama ASN sebagai penerima lahan itu tak sesuai dengan semangat program IFAD saat itu, yakni pemberdayaan masyarakat miskin.

"Proyek IFAD ini spiritnya untuk pemberdayaan masyarakat miskin. Tapi faktanya ada sejumlah oknum ASN yang justru bukan warga Desa Mata Wae mendapatkan lahan yang sama dengan masyarakat," tegas Syukur.

Ia menegaskan ulayat Mata Wae menyerahkan tanah itu dulu untuk kepentingan proyek IFAD. Karena itu, kata Syukur, ketika proyek IFAD gagal maka dengan sendirinya lahan bekas proyek IFAD diambil kembali oleh ulayat Mata Wae dan sepenuhnya menjadi hak anak cucu orang Mata Wae.

Menurut dia, jika sertifikat tanah tersebut yang saat ini masih ada di Distan Manggarai Barat, dibagikan kepada masyarakat lalu dijual, bisa menimbulkan konflik di tengah warga Desa Mata Wae. Tanah itu seharusnya dikembalikan kepada ulayat Mata Wae.

"Kalau sertifikat itu dibagi bisa menimbulkan konflik di tengah masyarakat Desa Mata Wae," tegas dia.

Ia memberikan tiga rekomendasi. Pertama, Badan BPN Manggarai Barat diminta tidak melakukan proses balik nama sertifikat, merekonstruksi ulang atau apapun bentuknya terhadap seluruh sertifikat tanah proyek IFAD Desa Mata Wae yang ada di Dinas Pertanian Kabupaten Manggarai Barat.

Kedua, Distan Kabupaten Manggarai Barat diminta tidak membagikan sertifikat lahan proyek IFAD di Desa Mata Wae karena masih menyisakan persoalan-persoalan hukum yang belum selesai.

Ketiga, kepada semua pihak baik instansi, jawatan, orang perorangan apapun bentuknya untuk tidak melakukan penjualan tanah di atas bekas proyekIFAD yang gagal itu. Sebab itu bisa memicu konflik horizontal di tengah masyarakat Desa MataWae.

Dikonfirmasi terpisah, Kepala BPN/ATR Manggarai Barat, Danial Imanuel Liunesi, mengatakan telah menerima surat sanggahan dari warga Desa Mata Wae tersebut. Daniel belum menanggapi permintaan warga tersebut. BPN/ATR Manggarai Barat, ujar dia, akan menanggapi secara tertulis surat tersebut.

"Surat sudah diterima dan akan ditanggapi secara tertulis," ujar Danial melalui pesan WhatsApp, Minggu (12/10/2025) sore.




(nor/nor)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads