Sebanyak empat blok wilayah pertambangan rakyat (WPR) di Kabupaten Lombok Barat dan Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), masuk ke dalam kawasan hutan lindung. Keempat blok tambang itu rencananya dikelola Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih di daerah tersebut.
Kepala Bidang Planologi dan Produksi Hutan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTB, Burhan Bono, mengatakan pengelola Kopdes Merah Putih sedang mengajukan izin pertambangan rakyat (IPR) terhadap keempat blok tambang di kawasan hutan itu. Adapun, dua blok berada di Sekotong (Lombok Barat) dan dua blok lainnya di daerah Dompu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harus kantongi IPR sebelum diterbitkan Izin Pengelolaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan (IPPKH)," ujar Bono, Senin (15/9/2025).
Menurut Bono, IPPKH keempat blok kawasan pertambangan itu akan dikeluarkan oleh Gubernur NTB. Ia menjelaskan IPPKH baru bisa diterbitkan setelah pihak pengelola tambang mendapat IPR dari Kementerian Kehutanan.
"Tidak boleh menambang sebelum IPR dan IPPKH terbit. Nanti IPPKH ini dikeluarkan oleh Gubernur," imbuhnya.
Bono menjelaskan aturan tentang kawasan hutan menjadi wilayah pertambangan rakyat tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 174.K/MB.01/MEM.B/2024 tentang Pedoman Penyelenggaraan Izin Pertambangan Rakyat. Ia menegaskan tidak semua lahan di kawasan hutan lindung yang memiliki potensi tambang bisa dieksplorasi.
"Misalnya ada 200 hektare kawasan, jadi yang boleh dikelola 10 hektare. Tidak semua punya potensi untuk dikelola," ujar Bono.
Dia menerangkan syarat utama penerbitan IPPKH mengacu pada dokumen reklamasi pascatambang dan analisis fungsi kawasan hutan. Proses pembahasan IPPKH ini, Bono berujar, akan dibahas di Dinas LHK NTB.
"Prosesnya paling dua bulan. Jadi, khusus blok masuk kawasan hutan itu ada dua izinnya, ada di (Kementerian) Kehutanan dan ESDM," imbuhnya.
Bono juga menyinggung blok tambang emas yang pernah dikelola tenaga kerja asing (TKA) asal China di Bukit Lendek Bare, Kecamatan Sekotong. Ia menegaskan blok tambang itu akan dikembalikan sebagai kawasan hutan. Saat ini, kasus tambang tersebut masih berproses di jalur hukum.
Revisi Perda
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB mengajukan revisi Perda Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Revisi dilakukan untuk mengatur operasional tambang rakyat di 16 blok wilayah pertambangan rakyat di lima kabupaten di NTB.
Kabid Minerba Dinas ESDM NTB, Iwan Setiawan, mengatakan usulan revisi Perda itu telah diajukan ke DPRD NTB. Revisi perda akan mengatur pajak dan retribusi 16 IPR yang masih dalam proses pengajuan oleh masing-masing koperasi di NTB.
"Nanti ada turunannya dalam bentuk Pergub (peraturan gubernur). Artinya ini masih berproses mengusulkan ke DPRD," kata Iwan, Kamis (4/9/2025).
Berdasarkan data sementara, sebanyak 13 koperasi telah mengajukan izin Upaya Pengelolaan Lingkungan (UPL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL) untuk mengelola 16 blok IPR. Belasan IPR itu tersebar sebanyak 5 blok di Lombok Barat, 3 blok di Sumbawa Barat, 3 blok di Sumbawa, serta 5 blok di Bima dan Dompu.
"Pengajuan lewat sistem Online Single Submission (OSS) sudah berproses. Jadi baru 13 masih proses pengajuan UKL-UPL untuk izin lingkungan. Belum ada yang disetujui karena masih berproses semua," terang Iwan.
(iws/iws)