Kopi Bajawa menjadi salah satu kopi terbaik di Indonesia dan memiliki tempat khusus di mata dunia serta mempunyai banyak penggemar. Namun sayang, kopi dari dataran Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), ini terancam punah karena perubahan iklim.
Dilansir dari detikFood, kopi Bajawa mengalami penurunan produksi secara signifikan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) NTT. Catatan ini berdasarkan wilayah tanam kopi seluas 1.807,47 hektare dengan tingkat produktivitas hanya 600-1.000 kilogram per hektare.
Baca juga: 9 Kopi Terbaik di Indonesia, Mana Favoritmu? |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 2021, Kabupaten Ngada menghasilkan kopi Bajawa sebanyak 2.502,4 ton. Namun, produksinya turun menjadi 736,4 ton pada 2023. Produksi kopi Bajawa turun lagi pada 2024 pada angka 676,4 ton.
Menurut penelitian terhadap lingkungan sekitar, hal ini disebabkan ketika suhu 23°C menyebabkan pembentukan dan pematangan buah kopi lebih cepat sehingga kualitasnya menurun. Sementara jika suhu udara sedang panas terik mencapai 30°C akan menyebabkan tanaman kopi tumbuh tidak normal.
Sejarah Kopi Bajawa
Kopi Bajawa telah ditanam sejak ratusan tahun silam. Suburnya tanaman kopi di Flores tidak terlepas dari budaya para petani lokal yang telah dilakukan sejak berabad-abad lalu.
Sejak dahulu hingga sekarang, tanaman kopi Bajawa tetap memegang teguh praktik penanaman yang mengedepankan kelestarian lingkungan. Tanaman kopi yang tumbuh di Flores berada pada ketinggian 1.200-1.600 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Karakteristik tanah vulkanis menjadi alasan maksimalnya pertumbuhan tanaman dan kualitas kopi di sana. Mulai dari perawatan tanaman hingga proses pascapanen, semua dilakukan secara tradisional.
Para petani kopi di Flores meninggalkan keahlian mengelola kebun kopi sebagai warisan kepada generasinya. Anselmus Menge, mantan Ketua Kelompok Tani Fa Masa, menceritakan warisan budaya menanam kopi pada keluarganya.
"Orang tua kami mulai menanam kopi sejak 1968. Kopi langsung dijual ke tengkulak dengan harga maksimal Rp 600," ujar Anselmus.
Namun, menurut Anselmus, para penerus petani kopi di Flores melakukan banyak penyesuaian seiring berjalannya waktu. Salah satunya menerapkan pelatihan untuk mengelola biji kopi agar mendapat harga jual yang lebih tinggi.
Anselmus mulai menanam kopi pada 2004 di atas tanah seluas 1,5 hektare. Sejak saat itu harga kopi gelondong merah melonjak hingga Rp 2.500 per kilogram.
Bertahan pada warisan budaya menanam kopi turun temurun, Flores dapat diandalkan sebagai salah satu produsen kopi Indonesia.
Anselmus mengungkapkan Flores memiliki puncak hasil panen kopi tertinggi pada 2016-2018. Pada 2016, petani di Kabupaten Ngada pernah berhasil mengekspor 233 ton kopi kering ke Amerika Serikat (AS). Melalui hasil panen tersebut, nilai ekspor yang didapat mencapai Rp 14 Miliar.
Petani kopi lokal di Flores menganggap 10-7 tahun yang lalu iklim masih sangat bagus dan menguntungkan untuk para petani. Sayangnya, perubahan iklim yang terjadi berdampak pada hasil produksi biji kopi.
Artikel ini telah tayang di detikFood. Baca selengkapnya di sini!
(iws/iws)