Mendesak, DPR Targetkan Revisi UU Perlindungan PMI Rampung 2025

Mendesak, DPR Targetkan Revisi UU Perlindungan PMI Rampung 2025

Ahmad Viqi - detikBali
Selasa, 25 Feb 2025 09:13 WIB
Anggota Komisi IX DPR RI Muazzim Akbar usai rapat koordinasi RUU Perlindungan PMI di Pendopo Gubernur NTB, Senin (24/2/2025). Foto: (Ahmad Viqi/detikBali).
Foto: Anggota Komisi IX DPR RI Muazzim Akbar usai rapat koordinasi RUU Perlindungan PMI di Pendopo Gubernur NTB, Senin (24/2/2025). (Ahmad Viqi/detikBali).
Mataram -

Komisi IX DPR RI menargetkan revisi Undang-Undang (UU) Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) Nomor 18 Tahun 2017 rampung pada 2025. Hal itu disampaikan oleh anggota Komisi IX Muazzim Akbar seusai rapat koordinasi dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB, Senin (24/2/2025).

"Proses revisi RUU Nomor 18 Tahun 2017 ini lagi proses penyusunan panitia kerja. Mohon doa biar segera diselesaikan karena masih banyak RUU masih menunggu," kata Muazzim di Mataram.

Menurut dia, revisi UU Nomor 18 Tahun 2017 itu dinilai sangat mendesak setelah perubahan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) menjadi Kementerian.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sekarang sudah jadi kementerian, jadi harus ada jadi acuan UU. Kami target tahun ini rampung, Insyaallah," tegas Ketua DPW Partai Amanat Nasional NTB ini.

Ada beberapa masukan dari Pemprov NTB untuk dituangkan ke dalam revisi UU. Seperti, besaran deposit anggaran perusahaan menjadi Rp 5 miliar dari anggaran Rp 1,5 miliar. Menurut Muazzim, anggaran tersebut tujuannya sebagai jaminan ganti rugi ketika PMI bermasalah, meninggal dunia, atau mendapatkan penyiksaan saat bekerja di luar negeri.

"Kami meminta akan meningkatkan uang jaminan itu. Pada aturan sebelumnya perusahaan wajib deposito Rp 1,5 miliar. Kami minta sekarang berubah menjadi Rp 5 miliar," ujarnya.

Dia menegaskan tujuan penambahan biaya deposito perusahaan P3MI itu agar para PMI benar-benar terlindungi hak-haknya selama bekerja di luar negeri. "Deposito itu juga kan akan dicairkan ketika ada masalah dengan PMI," kata Muazzim/

Namun, nominal deposito jaminan masih menjadi perdebatan. Sebab, akan memberatkan perusahaan di daerah. "Nanti kami lihat seperti apa persetujuan jumlah deposit ini," tegasnya.

Terpisah, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) NTB I Gede Putu Aryadi menjelaskan pihaknya mencatat sebanyak 31 ribu warga NTB yang menjadi PMI di luar negeri pada 2024. Jumlah tersebut menurun dibanding tahun 2023 yang mencapai 36 ribu.

Namun, Aryadi melanjutkan, perlindungan terhadap PMI masih lemah. Untuk itu, DPR RI telah merancang revisi UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI.

"Ada beberapa item yang menjadi masukan kami pada RUU itu. Pertama meminta pada RUU itu diatur kejelasan penganggaran porsi pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Porsi anggaran itu digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap PMI," ujarnya.

Misalnya, Aryadi melanjutkan, ketika ada masalah atau pemulangan PMI yang meninggal dunia, siapa yang bertanggung jawab. Selama ini, Pemprov NTB selalu berupaya memberikan perlindungan, meskipun anggaran terbatas.

"Kami kan tidak punya anggaran untuk pemulangannya. Tetapi, tetap kami selesaikan masalah itu," ujarnya.

Aryadi menegaskan dalam RUU juga harus dipertegas mengenai tanggung jawab dari perusahaan mengirim PMI. Jangan sampai perusahaan juga lepas tangan.

"Selama ini hanya diatur mengenai sanksi administratif terhadap perusahaan. Tidak mengatur spesifik tentang ganti rugi atau pemidanaannya," jelasnya.

Aryadi mengusulkan,jika ada perusahaan terbukti melakukan perdagangan orang, bisa langsung dicantumkan normanya mengenai ganti rugi kepada korban. "Entah bagaimana caranya. Mungkin bisa dilakukan penyitaan aset dan sebagainya," usulnya.

Menurutnya, cara itu paling tepat untuk melindungi dan mengembalikan hak-hak PMI. Sehingga ada jaminan mereka yang juga menghasilkan devisa negara dapat dilindungi.

Aryadi juga mengusulkan terkait dengan pembinaan PMI harus diperkuat sebelum pemberangkatan luar negeri. Semua PMI yang diberikan pembinaan dipastikan dalam kondisi siap bekerja.

"Sekarang bisa kami beri pelatihan di Balai Latihan Kerja (BLK). Tapi pengelolaan BLK dialihkan ke pemerintah pusat. Harusnya pengelolaannya diserahkan ke pemerintah daerah, supaya proses pengawasannya lebih kuat. Kalau pun diserahkan ke pemda, harus support dengan anggaran," tandas Aryadi.




(hsa/hsa)

Hide Ads