Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyoroti maraknya pembalakan hutan di Nusa Tenggara Barat (NTB). Pasalnya, dari 2,1 juta luas lahan di Pulau Lombok dan Sumbawa, hampir 60 persen diklaim dalam kondisi kritis.
Direktur Eksekutif Walhi NTB Amry Nuryadin mengatakan kondisi hutan memang cukup memperihatinkan, terutama di Pulau Sumbawa. Amry menilai pemerintah justru tidak fokus terhadap kondisi hutan di NTB yang kritis.
"Sampai hari ini pemerintah tidak berfokus pada konsepsi ekonomi kearifan lokal dalam konteks aktual pembangunan di NTB," ujar Amry seusai rapat Konsultasi Lingkungan Hidup Walhi NTB 2024 di Kota Mataram, Rabu (6/3/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Amry 60 persen lahan kritis di NTB berdampak pada tata kelola sumber daya air. Hal itu disebabkan adanya pembangunan tambang nikel di Sumbawa, pasir besi di Lombok Timur, serta tambak udang di sempadan pantai Pulau Sumbawa dan Lombok Timur bagian utara. "Jelas ini tidak memberikan satu solusi terhadap kepentingan masyarakat," katanya.
Army menilai tingginya alih fungsi lahan juga berdampak pada kerusakan iklim di NTB. Contohnya kasus banjir kerap menerjang beberapa desa di Pulau Sumbawa, baik di Kabupaten Bima, Dompu, Sumbawa, dan bahkan beberapa kecamatan di Lombok Barat dan Lombok Timur.
Wilayah Pesisir Jadi Catatan
Kepala Divisi Kelembagaan Walhi Nasional Hadi Jatmiko memberikan catatan dalam agenda gerakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh 32 organisasi di bawah Walhi NTB. Secara nasional, jelas Hadi, pemerintah belum sepenuhnya memperhatikan pola kehidupan masyarakat nelayan di pesisir.
Data rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) penempatan lahan wilayah perorangan yang dikuasai oleh masyarakat pesisir baru mencapai 53 ribu hektar. Sedangkan aktivitas pertambangan dan kegiatan industri dari 38 provinsi menggunakan lahan mencapai 35 juta hektar.
"Artinya bahwa tidak lebih dari 1 persen lahan pesisir dikuasai nelayan. Sebagai besar dikuasai negara. Itu artinya akan mengancam kehidupan mereka," katanya.
Maraknya aktivitas pertambangan di wilayah pesisir Indonesia bagian timur mulai dari NTB hingga Papua, selain mengancam krisis iklim oleh aktivitas pertambangan, juga mengancam ekonomi masyarakat pesisir.
"Jadi hasil dari temu nelayan di 28 provinsi, sekitar 70 persen pendapatan nelayan di 28 provinsi hilang akibat dampak pembangunan di kawasan pesisir," ujarnya.
"Kalau dulu bisa dapat tangkapan ikan capai 200 kg sehari, tapi setelah ada aktivitas reklamasi pantai, tambang pasir besi, limbah nikel dibuang ke pantai, sekarang nelayan kira rata-rata bisa menangkap ikan capai 5 kg sehari," imbuhnya..
Dampak dari adanya aktivitas pertambangan di wilayah pesisir juga menyebabkan semakin jauhnya wilayah tangkap para nelayan. "Sekarang membutuhkan bahan bakar lebih besar. Dulu masih di bawah 5 mil dapat ikan sekarang sampai puluhan mil baru dapat ikan," jelasnya.
Selain ancaman perubahan iklim, ada pula ancaman sosial, yaitu semakin meningkatnya jumlah penduduk miskin ekstrem di wilayah pesisir. Berdasarkan data 2022, daya beli masyarakat miskin ekstrem mencapai Rp 20 ribu sehari.
"Salah satu penyebabnya adalah hilangnya akses ekonomi terhadap mereka yang hidup di wilayah pesisir laut," tegas Hadi.
(nor/nor)