Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Maret 2023 meningkat jika dibandingkan dengan periode September 2022. Jumlah penduduk miskin di NTB pada Maret 2023 tercatat 751 ribu orang. Bertambah 6 ribu orang dibandingkan September 2022 yang berada di angka 744 ribu orang.
Kepala BPS NTB Wahyudin mengungkap sejumlah faktor yang menyebabkan naiknya angka kemiskinan tersebut. Di antaranya, tingkat inflasi, distribusi pengeluaran dan jumlah penduduk, kelompok penduduk referensi, pola konsumsi dan paket komoditas, harga kalori komoditas makanan, jumlah kalori komoditas makanan, hingga program bantuan kemiskinan.
Menurut Wahyudin, salah satu yang mendongkrak naiknya angka kemiskinan di NTB adalah meningkatnya kemiskinan di daerah pedesaan. "Kalau kami lihat dari data yang kami cuplik, setelah kami hitung rata-rata pengeluaran penduduk desa yang satu dan dua menurun dengan bulan September. Sementara di kota ada kenaikan. Itu yang mempengaruhi penduduk miskin di pedesaan," kata Wahyudin saat ditemui, Senin (17/7/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sekarang sudah berbalik arah, pedesaan lebih tinggi angka kemiskinan dari sisi persentase dengan perkotaan. Selama ini hampir 5-10 tahun tidak pernah terjadi yang demikian," imbuhnya.
Dijelaskan Wahyudin, persentase penduduk miskin perkotaan pada September 2022 sebesar 13,98 persen, turun menjadi 13,76 persen pada Maret 2023. Sementara persentase penduduk miskin perdesaan pada September 2022 sebesar 13,66 persen, naik menjadi 13,95 persen pada Maret 2023.
Dibanding September 2022, jumlah penduduk miskin Maret 2023 perkotaan turun sebanyak 0,5 ribu orang (dari 384 ribu orang pada September 2022 menjadi 383 ribu orang pada Maret 2023). Sementara itu, pada periode yang sama, jumlah penduduk miskin perdesaan naik sebanyak 7,04 ribu orang (dari 360,66 ribu orang pada September 2022 menjadi 367,70 ribu orang pada Maret 2023).
Wahyudin menerangkan kemiskinan dimaknai sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan. Hal itu diukur dari sisi pengeluaran.
Program Penanggulangan Kemiskinan Pemerintah Belum Tepat Sasaran
Wahyudin menilai sejumlah program bantuan kemiskinan yang digelontorkan pemerintah pusat maupun daerah belum tepat sasaran, khsusunya di perdesaan. Hal itu mengakibatkan bantuan kemiskinan tersebut belum efektif menekan angka kemiskinan. Bantuan tersebut, di antaranya Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), hingga Bantuan Langsung Tunai (BLT).
"Dari sisi data yang kami miliki, masih banyak orang-orang yang seharusnya dapat (bantuan), tapi tidak dapat. Begitupun sebaliknya," kata Wahyudin.
Wahyudin menceritakan pada 2006 sempat mengikuti pembekalan dan ditugaskan meninjau efektivitas program PKH di daerah. Ia menemukan banyak Keluarga Penerima Manfaat (KPM) justru masuk dalam kategori mampu secara ekonomi.
"Orang-orang yang lumayan kaya masih dikasi. Sasaran PKH sekarang ini adalah orang-orang yang kaya, yang desil 8 dan 9 masih dapat," jelasnya.
Selain itu, menurut Wahyudin basis data yang terdapat di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) masih banyak yang belum valid.
"Sekarang ini kami punya data By Name By Adress (BNBA) dari hasil Regososek yang sudah kami verifikasi, komunikasi dengan RT/RW, kepala desa, pakailah data itu untuk program penanggulangan kemiskinan ke depan. Itu kalau kita mau secara masif menurunkan angka kemiskinan," imbuhnya.
Data yang dihimpun pada 2022 silam, tak kurang dari 65 persen penduduk di NTB bergantung pada bantuan sosial (bansos) dari pemerintah. Jumlah ini tergambar dari DTKS, yang sebanyak 3,7 juta jiwa dari sekitar 5,7 juta jiwa penduduk masuk sebagai usulan di data terbaru.
DTKS ini merupakan basis data yang menjadi rujukan pemerintah untuk menyalurkan bansos. Masyarakat yang masuk dalam DTKS merupakan penduduk kategori miskin atau berstatus kesejahteraan sosial rendah.
(iws/nor)