Menurut Eka, dua balita meninggal itu sebelumnya meminum obat sirup karena mengalami demam tinggi. Namun, satu di antaranya dapat dipastikan belum mendapat obat sirup.
"Satunya ini belum minum. Dua sudah minum obat sirup. Satunya itu belum bisa pastikan minum atau tidak. Terakhir yang meninggal itu sudah empat hari lalu," ungkap.
Menurut Eka, ketiga balita yang meninggal dunia tersebut awalnya mengalami gejala demam. Di sisi lain, ketiga balita tersebut juga dikabarkan sempat diare.
Kemungkinan munculnya diare setelah diberikan obat sirup hingga menyebabkan kekurangan cairan. Sehingga kata Eka menyebabkan adanya gangguan pada ginjal salah satunya infeksi berat.
"Ini mungkin yang diakibatkan adanya kegagalan multi organ di tubuhnya salah satunya adalah ginjal. Banyak hal juga penyebabnya," kata Eka.
Pemda NTB Hentikan Sementara Peredaran Obat Sirup
Pihaknya telah menindaklanjuti imbauan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menghentikan sementara pemberian obat sirup kepada pasien anak. Saat ini Pemda NTB sedang fokus untuk mengamankan semua jenis sirup yang masih beredar di NTB.
Selain itu, sirup-sirup yang dijual di toko obat dan apotek akan diteliti oleh Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Kota Mataram.
"Kami minta kalau ada gejala demam tidak perlu pakai sirup. Ada pil kemudian dihaluskan. Obat tradisional juga bisa. Kemudian kalau dia batuk atau pilek bisa pakai madu dicampur jeruk nipis," tegas Eka.
"Semua jenis obat sirup akan diteliti. Tidak ditarik tapi diamankan dulu. Sekarang adalah kita minta masyarakat untuk tidak memberikan obat sirup sembarangan. Kalau ada Balita sakit silakan Faskes," tambah Eka.
Untuk sementara, dalam mengantisipasi penggunaan obat sirup pada balita, Pemda NTB masih dalam tahap melakukan penelitian secara mendalam. Nantinya, setelah diteliti, semua obat sirup yang sudah beredar ini sesegera mungkin bisa diambil kesimpulan yang jelas.
"Ada kasus baru? Tidak ada selain yang tiga itu. Dari hasil analisis kita itu kan setiap tahun sebelum ada marak kasus gagal ginjal akut ini sebelum 2022 itu juga yang terjadi tapi tidak banyak. Tapi ini karena angka nasional cukup tinggi ya menjadi perhatian kita di NTB," pungkas mantan Direktur Utama RSUD Provinsi NTB ini.
(nor/dpra)