Syarifuddin, sosok tenaga kesehatan (nakes) asal Kecamatan Kilo, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi salah satu contoh potret muram.
Mengabdi selama 10 tahun sebagai nakes non ASN (Aparatur Sipil Negara) di Puskesmas Kecamatan Kilo, Kabupaten Dompu, NTB, pria 36 tahun ini mengaku tak pernah mendapat gaji. Kok bisa?
Ditemui di sela aksi unjuk rasa menuntut hak dan keadilan di depan kantor Bupati Dompu, Syarifundin mengaku jika selama mengabdi dia hanya mendapat upah atau honor sebesar Rp 50 ribu per bulan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun ada pendapatan lain dari tambahan uang atau dana kapitasi, namun besaran dana kapitasi yang ia terima nominalnya tidak tentu.
Besaran pembayaran dana kapitasi bulanan biasanya dibayar dimuka kepada puskesmas berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.
"Uang (dana kapitasi) tersebut diperoleh dari kapitasi yang saya punya. Saya sudah 10 tahun bekerja, tetapi tidak mendapatkan gaji karena bukan pegawai SK honor daerah," kata Syarifuddin saat berorasi di depan Sekda Dompu.
Sehingga, imbuh Syarifuddin, praktis dengan tidak menentunya besaran dana kapitasi, ia hanya mendapatkan honor sebesar Rp 50 ribu per bulan.
"Jadi saya dapat per bulan hanya Rp 50 ribu, selain itu hampir bisa dikatakan tidak ada tambahan," ungkap Syarifuddin.
Sayang, niat hati ingin mencurahkan keluh kesahnya kepada sekretaris daerah (sekda) Dompu, namun harapan Syarifuddin bertepuk sebelah tangan.
Syarifuddin dan sejumlah nakes yang tergabung forum komunikasi honorium Nakes Non ASN (FKHN) Kabupaten Dompu mengaku kecewa karena atas tuntutan dan harapan itu, pihak pemerintah (melalui Sekda) justru menanggapi tuntutan tentang regulasi Nakes Non ASN yang tidak bisa ikut dalam rekrutmen PPPK 2023 mendatang.
"Kami setidaknya harus mendapatkan kepastian dari pemda. Bahwa nasib kami harus diperhatikan," tukas Syamsudin.
(nor/dpra)