Konsumsi daging hiu masih menjadi praktik di berbagai belahan dunia. Padahal, sejumlah penelitian ilmiah dan lembaga kesehatan internasional sudah lama memperingatkan bahaya serius yang mengintai di balik kebiasaan ini.
Bukan hanya soal isu kelestarian laut, mengonsumsi daging hiu terbukti membawa risiko besar bagi kesehatan manusia. Bahayanya jauh melampaui anggapan adanya manfaat tradisional dari daging atau sirip hiu.
Tinggi Kandungan Merkuri
Hiu adalah predator puncak di lautan. Posisi ini membuat mereka rentan menumpuk zat beracun dari rantai makanan laut. Proses yang disebut bioakumulasi dan biomagnifikasi menyebabkan racun seperti merkuri menumpuk dalam kadar yang jauh lebih tinggi dibandingkan ikan lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut data Food and Drug Administration (FDA), kadar merkuri rata-rata dalam daging hiu bisa mencapai 0,979 ppm, menjadikannya salah satu ikan dengan kandungan merkuri tertinggi.
Merkuri, terutama dalam bentuk metilmerkuri, dikenal sebagai neurotoksin kuat yang bisa merusak sistem saraf pusat, jantung, serta mengganggu fungsi otak. Risiko ini semakin berbahaya bagi ibu hamil, ibu menyusui, dan anak-anak karena merkuri dapat menembus plasenta dan memengaruhi perkembangan otak janin.
Efek jangka panjang paparan merkuri antara lain:
- gangguan penglihatan dan pendengaran,
- gangguan koordinasi gerak,
- kelemahan otot,
- penurunan fungsi kognitif.
Kandungan Timbal dan Arsenik
Selain merkuri, penelitian menemukan bahwa daging hiu juga mengandung timbal dan arsenik dalam kadar tinggi.
- Timbal berhubungan dengan kerusakan ginjal, gangguan memori, dan masalah perkembangan otak.
- Arsenik dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker kulit, kandung kemih, dan paru-paru.
Paparan jangka panjang dari dua logam berat ini membuat konsumsi daging hiu menjadi ancaman serius bagi kesehatan.
Neurotoksin dan Racun Lain
Bahaya daging hiu tak berhenti pada logam berat. Sejumlah penelitian juga menemukan adanya senyawa neurotoksin dalam sirip hiu yang berhubungan dengan penyakit neurodegeneratif, termasuk Alzheimer.
Selain itu, beberapa spesies hiu dapat membawa racun laut bernama ciguatoxin, yang memicu keracunan ciguatera. Gejalanya meliputi gangguan pencernaan, kesemutan, hingga kondisi unik berupa persepsi suhu terbalik (air dingin terasa panas).
Daging hiu juga mengandung urea dalam kadar tinggi. Jika tidak ditangani dengan baik, urea terurai menjadi amonia yang menimbulkan bau menyengat sekaligus berpotensi beracun.
Risiko Kontaminasi Mikroba dan Polutan
Bahaya lain berasal dari potensi kontaminasi mikroba jika daging hiu tidak ditangani secara higienis. Patogen seperti Listeria monocytogenes dan Escherichia coli dapat memicu keracunan makanan serius.
Tak hanya itu, hiu juga diketahui menumpuk Polutan Organik Persisten (POP), termasuk PCB (Polychlorinated Biphenyls), yang bisa mengganggu hormon, meningkatkan risiko penyakit metabolik, hingga bersifat karsinogenik.
Lebih Banyak Bahaya daripada Manfaat
Melihat tingginya kandungan merkuri, timbal, arsenik, hingga neurotoksin dalam daging hiu, jelas bahwa risikonya jauh lebih besar daripada manfaatnya. Kasus keracunan massal setelah mengonsumsi olahan daging hiu di sejumlah negara menjadi bukti nyata ancaman ini.
Lembaga kesehatan internasional seperti WHO dan FDA menganjurkan masyarakat untuk menghindari konsumsi daging hiu, terutama kelompok rentan seperti ibu hamil, ibu menyusui, dan anak-anak.
Sebagai gantinya, masyarakat disarankan memilih ikan laut dengan kandungan merkuri rendah, seperti salmon, sarden, atau ikan kembung, yang lebih aman sekaligus kaya nutrisi.
(dpw/dpw)