Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan larangan bagi pemerintah pusat maupun Pemda NTB untuk melegalkan tambang emas ilegal di Bukit Lendek Bara, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat. Lokasi tersebut sebelumnya disegel oleh Kementerian Lingkungan Hidup bersama KPK pada Oktober 2024.
Ketua Satgas Koordinator Supervisi (Korsup) Pencegahan KPK Wilayah V, Dian Patria, menyebut wacana melegalkan tambang di luar Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) Sekotong merupakan bentuk pelanggaran.
"Jangan sampai yang disegel oleh Kementerian Lingkungan Hidup yang kita dampingi itu juga yang mau dilegalkan. Jadi itu bukan titik WPR, itu kawasan hutan tidak masuk WPR," tegas Dian di Mataram saat Rapat Koordinasi Pencegahan Korupsi Terintegritas di wilayah NTB, Senin (1/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dian mengingatkan, jika tambang emas yang pernah dikelola tenaga kerja asing (TKA) asal China itu dilegalkan, maka akan melanggar aturan, berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, hingga memperluas kerusakan lingkungan.
"Kalau itu dipaksakan namanya ilegal dong. Jadi kita harus pastikan jangan ada narasi-narasi kalau di luar WPR itu akan dilegalkan. Ini gak bisa," ujarnya.
Ia menambahkan, rencana 5 blok tambang emas di Sekotong yang sudah mendapat izin pertambangan rakyat (IPR) dari Kementerian ESDM juga harus diperhatikan pengelolaannya. Menurutnya, praktik suap dan kerusakan lingkungan harus dicegah sejak awal.
"Ya jangan sampai ada suap menyuap. Itu saja yang kita ingatkan. Hati-hati juga terkait kerusakan lingkungan," tegas Dian.
Dian juga menyoroti rencana pengelolaan tambang emas oleh Koperasi Desa Merah Putih. Ia menekankan koperasi tetap harus tunduk pada aturan dan masyarakat wajib mengawasi prosesnya.
"Kalau bisa saya mau katakan apa. Tapi teman-teman harus liat. Dibalik koperasi ini siapa sih. Mulanya di mana sih. Bagi saya negara hadir untuk mengelola, mencuci emas itu harus dipegang negara," ujarnya.
Dampak Lingkungan hingga Stunting
Lebih lanjut, Dian menyebut aktivitas tambang emas ilegal di Sekotong berdampak pada kesehatan masyarakat. Berdasarkan keterangan Wakil Bupati Lombok Barat Nurul Adha, tingginya angka stunting di Sekotong diduga akibat paparan merkuri dari aktivitas tambang.
"Intinya perlu melihat seperti tadi yang dibilang tadi, sudah banyak ditemukan stunting di Lombok Barat yang diduga itu pengaruh merkuri," kata Dian.
Bahkan, kajian tahun 2018 oleh tim dari Bali dan Universitas Mataram menemukan kandungan merkuri di sekitar lingkar tambang emas ilegal Sekotong.
"Artinya ada efek jangka panjang dampak lingkungannya, bagi tanah dan manusia di situ," jelasnya.
Proses Hukum dan Pengawasan
Dian menambahkan, pasca penyegelan tambang emas ilegal, Kementerian Lingkungan Hidup masih melakukan telaah. Namun, salah satu aktivitas tambang sudah masuk tahap penindakan di KPK.
"Baru dua kasus ke penindakan ya. Tapi saya belum bisa bilang kasus yang mana? Mungkin yang di Lombok saya belum tahu ya," kata Dian.
16 Koperasi Ajukan Izin
Sementara itu, Plt Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTB Ahmadi mengungkapkan sebanyak 16 koperasi telah mengajukan izin Upaya Pengelolaan Lingkungan (UPL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL) untuk mengelola 16 blok IPR. Lokasi tersebut terdiri dari 5 blok di Sekotong, 3 blok di Sumbawa, 3 blok di Sumbawa Barat, serta 5 blok tersebar di Bima dan Dompu.
"Ya ada 16 koperasi sudah ajukan. Tapi baru dokumen profilnya. Baru itu saja. Jadi nanti kalau sudah oke dokumen UKL dan UPL selesai di Kementerian Lingkungan Hidup, baru kita memberikan izin lingkungan," ujar Ahmadi di Mataram, Selasa (26/8/2025).
Ahmadi menegaskan, sebelum izin lingkungan diterbitkan, Pemprov NTB akan menilai sejauh mana dampak kerusakan yang ditimbulkan. Pengawasan akan dilakukan berdasarkan dokumen UKL dan UPL dari Kementerian.
Simak Video "Video Alasan KPK Belum Tetapkan Tersangka Kasus Korupsi Kuota Haji"
[Gambas:Video 20detik]
(dpw/dpw)