Tiga petinggi PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bali Artha Anugrah dijebloskan ke bui. Mereka adalah I Nengah Sujana yang menjabat Direktur Kepatuhan, Ida Bagus Toni Astawa sebagai Direktur Utama, dan I Gede Dodi yang menjabat sebagai Kepala Bagian (Kabag) Kredit.
Ketiganya sudah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi dan saat ini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Kerobokan, Badung. Berikut ini fakta-fakta terkait rasuah di BPR tersebut.
Terbitkan 635 Kredit Fiktif
Mereka dijerat pidana lantaran diduga menerbitkan 635 kredit fiktif memakai 151 nama debitur atau nasabah dengan total plafon atau nilai kredit fiktif itu mencapai Rp 325,47 miliar. "Tindak pidana perbankan dengan sengaja menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam dokumen bank tanpa melaksanakan prinsip ketaatan pada peraturan," kata Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) Kejaksaan Negeri (Kejari) Denpasar, Ady Wira Bhakti, Kamis (19/12/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wira mengatakan Sujana sempat dipanggil sebagai saksi ke Kejari Denpasar, Kamis (19/12/2024) sore. Setelah menjalani pemeriksaan, statusnya dinaikkan jadi tersangka.
"Hari ini diproses tahap dua di Kejari Denpasar. Dia dipanggil dan diperiksa sebagai saksi. Dari hasil pemeriksaan, statusnya jadi tersangka. Hari ini sudah ditahan di Lapas Kerobokan," terang Wira.
Berawal Penyidikan OJK dan Kejagung
Kasus dugaan korupsi itu berawal dari penyidikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) beberapa waktu lalu. Karena kejadian perkaranya di kantor BPR Bali Artha Anugrah, Denpasar, maka proses penyidikannya melibatkan Kejari Denpasar.
Hasil penyidikan OJK dan Kejagung, Sujana, Toni, dan Dodi diduga kongkalikong memproses penerbitan 635 kredit fiktif sejak 2017 hingga 2023. Mereka menerbitkan kredit fiktif tanpa melalui prosedur yang berlaku dan tanpa sepengetahuan debitur.
Digunakan untuk Kepentingan Pribadi Direksi Rp 175 Miliar
Ratusan miliar uang haram itu dicairkan untuk membayar tunggakan angsuran, termasuk pokok dan bunga debitur lain, pembayaran pelunasan kredit, pembayaran fee, dan kepentingan pribadi. "(Uang digunakan) untuk kepentingan pribadi direksi sebesar Rp 175 miliar," ungkap Wira.
Wira tidak memerinci peran masing-masing tersangka dalam kasus itu. Hanya Sujana yang diketahui mencairkan dana dengan menerbitkan 85 kredit fiktif. Total plafonnya mencapai Rp 28,7 miliar.
Sujana tidak melakukan sejumlah prosedur saat menerbitkan kredit fiktif. Ia tidak melakukan survei terhadap debitur, tidak memeriksa sistem informasi layanan keuangan (SLIK), tidak ada pengecekan agunan atau jaminan, dan sejumlah prosedur lain.
"Tidak dilakukan pengecekan gaji atau penghasilan ataupun laporan keuangan perusahaan (debitur). Sehingga menyebabkan pencatatan palsu pada dokumen perbankan berkas kredit," ungkap Wira.
Pria yang juga Ketua KONI Denpasar dan dua bawahannya di BPR Bali Artha itu dijerat Pasal 49 ayat (1) huruf a dan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Ancamannya delapan tahun penjara.
(hsa/hsa)