Wakil Ketua Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, mendorong Polres Sumba Timur agar menjerat para pelaku kekerasan seksual terhadap seorang perempuan berinisial ITA dengan Undang-undang (UU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Para pelaku itu adalah FS, US dan A.
"Kita sudah punya UU TPKS, itu sudah ada salah satu kategori tentang perbudakan seksual. Jadi sebetulnya polisi bisa menjerat para pelaku dengan UU itu," ujar Marian di Kupang, NTT, Selasa (19/11/2024).
Mariana menjelaskan konsekuensi hukum terhadap pelaku kejahatan seksual, itu sudah diatur dalam UU TPKS, maka setiap kasus yang ada, mestinya polisi menggunakan regulasi tersebut. Namun, yang terjadi polisi kebanyakan menjerat para pelaku dengan KUHP dan UU Perlindungan Anak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalaupun kepolisian masih beradaptasi, misalnya anak yang menjadi korban, maka biasanya mereka menggunakan KUHP dan UU Perlindungan Anak saja, tapi itu tidak cukup karena dalam UU TPKS ada hak untuk korban yang harus dipenuhi, baik oleh polisi, psikolog, dokter, maupun dinas sosial," jelas Mariana.
Mariana mengungkapkan polisi, psikolog, dokter, maupun dinas sosial harus komprehensif turun tangan dalam setiap kasus yang terjadi. Terkait apakah Komnas Perempuan sudah mendapat laporan soal kasus tersebut, Maria mengaku harus mengeceknya dulu.
"Ini kalau ada kasus, saya harus cek datanya dulu sudah berapa kasus yang dilaporkan kepada kami karena sangat banyak laporan yang masuk ke Komnas Perempuan," ungkap Mariana.
Menurut Mariana, penanganan kasus perbudakan seksual dan kawin tangkap di Pulau Sumba, maka tugas Komnas Perempuan adalah mencari fakta bila terjadinya kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada kaum perempuan.
"Nah, kalau untuk kasus perhambaan maupun kawin tangkap begitu, tentunya kami akan menyampaikan fakta-fakta dan juga mendorong bahwa keterlibatan budaya, itu harus dipertimbangkan. Selebihnya kami kembalikan kepada pemimpin daerah untuk menyelesaikan karena kalau kami ikut campur, maka salah lagi," pungkas Mariana.
Diberitakan sebelumnya, ITA, seorang perempuan berusia 18 tahun di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), menjadi budak dan mengalami kekerasan seksual dan fisik sejak sekolah dasar hingga melahirkan anak. ITA akhirnya kabur dari perbudakan yang dialaminya.
ITA diperbudak oleh tuannya berinisial FS. Dalam strata sosial di Sumba Timur, ITA merupakan hamba dari FS. Kasus ITA kini telah mendapatkan pendampingan dari Pekerja Sosial (Peksos) Kementerian Sosial (Kemensos) Wilayah Sumba Timur.
"Dari cerita singkat korban, diketahui bahwa dia telah mendapatkan kekerasan seksual dari tuan rumahnya sejak masih duduk di kelas 2 SD. Korban juga hanya disekolahkan hingga kelas 4 SD," ungkap Peksos Kemensos Wilayah Sumba Timur, Mikel Presty Moata, Sabtu (2/11/2024).
(dpw/dpw)