ITA, seorang perempuan berusia 18 tahun di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), menjadi budak dan mengalami kekerasan seksual dan fisik sejak sekolah dasar hingga melahirkan anak. ITA akhirnya kabur dari perbudakan yang dialaminya.
ITA diperbudak oleh tuannya berinisial FS. Dalam strata sosial di Sumba Timur, ITA merupakan hamba dari FS. Kasus ITA kini telah mendapatkan pendampingan dari Pekerja Sosial (Peksos) Kementerian Sosial (Kemensos) Wilayah Sumba Timur.
"Dari cerita singkat korban, diketahui bahwa dia telah mendapatkan kekerasan seksual dari tuan rumahnya sejak masih duduk di kelas 2 SD. Korban juga hanya disekolahkan hingga kelas 4 SD," ungkap Peksos Kemensos Wilayah Sumba Timur, Mikel Presty Moata, Sabtu (2/11/2024).
Mikel mengungkapkan ITA menceritakan kisahnya dengan penuh histeris. Sebab, penderitaan yang dialaminya sudah sejak lama. Bahkan, ITA harus siap melayani kebutuhan seksual tuannya hampir setiap saat.
"Korban mengaku harus dipakai di saat apa pun. Misalkan saat menyusui anaknya, tuannya masih sempat menyetubuhinya," kata Mikel.
Selain, FS, anak FS, yaitu US bersama seorang pria berinisial A yang tinggal di rumah FS, juga beberapa kali menyetubuhi ITA.
ITA sebenarnya sempat menceritakan permasalahannya kepada perempuan bernama Rabu, istri dari FS. Bukannya menerima, Rambu justru menyalahkan dan menuduh ITA dengan kata-kata kasar.
Tak hanya itu, ITA juga krap dipukul oleh Rambu bersama anak perempuannya. ITA juga diancam agar mengakui orang lain yang melakukan kekerasan bila ada yang bertanya.
Tak tahan mengalami kejadian yang telah menimpanya berulang kali, ITA akhirnya memilih melarikan diri pada 8 Juni 2024. Pada pagi harinya, sebelum ITA kabur, FS masih sempat menyetubuhinya.
ITA tak melarikan dirinya sendiri. Ia kabur dengan menggendong bayi perempuannya, hasil dari perbudakan seksual yang dialaminya. Saat kabur, ITA menggendong bayi perempuannya lalu melompat dari jendela yang berdekatan langsung dengan jurang yang terjal.
Akibat aksi nekat itu, anak ITA sempat rewel beberapa hari. Ketakutan dan luapan ketidakberdayaan menghantui ITA. Namun, dalam benaknya, dia harus berani keluar dari kungkungan perbudakan.
"Dia bilang saya harus selamat dan keluar dari rumah tersebut karena tidak tahan mengalami perbudakan yang tidak manusiawi," tutur Mikel.
"Saya seperti budak seksnya mereka. Saya hanya bisa bersabar menerima perlakuan tersebut hingga saya hamil dan melahirkan anak saya yang sudah berusia enam bulan," tutur Mikel menirukan ucapan ITA.
"Saya tidak sanggup lagi sehingga saya bisa memberanikan diri keluar dari keluarga tersebut untuk meminta perlindungan karena saya bukan lagi jadi manusia, tetapi sudah jadi pelampiasan nafsu mereka," ujar Mikel menirukan perkataan ITA.
Dari kesaksian itu, Mikel berinisiatif untuk melindungi ITA ke rumah Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Sumba Timur. ITA di sana langsung mendapat penguatan dan pendampingan dari ahli psikologi.
Mikel mengungkapkan, meski sudah melaporkan kejadian itu kepada Pekerja Sosial Sumba Timur, ITA masih bimbang dan dilematis. Sebab, nasibnya beserta keluarganya ke depan seperti apa.
"Pak saya bimbang dan dilema karena kalau saya melaporkan kejadian ini, maka nasib saya dan keluarga bagaimana. Sehingga sebenarnya saya hidup, tetapi hidup dalam lingkaran kematian," kata Mikel, menirukan penjelasan ITA.
Kasus itu kemudian dilaporkan ke Polres Sumba Timur pada 19 Juni 2024. ITA didampingi oleh Peksos Sumba Timur, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Perwati, WCC GKS Sinode, dan tim dari Unkriswina Sumba Timur sebagai pemerhati perempuan dan anak saat melapor ke polisi.
Menurut Mikel, kejadian yang dialami ITA menggambarkan betapa penderitaannya mengalami perbudakan seksual yang sudah bertahun-tahun sehingga mengalami trauma yang cukup panjang. Ditambah lagi dihadapkan dengan konsekuensi saat melaporkan tuannya, maka berdampak pada ketidakberpihakan dan dukungan dari keluarga sendiri.
"Terkonfirmasi bahwa orang tua korban, beberapa kerabat, dan keluarga memintanya untuk tidak melaporkan kejadian tersebut, tetapi korban tetap berkomitmen untuk mencari keadilan meski dia tidak akan dikenal lagi oleh keluarganya," terang Mikel.
Mikel mengajak masyarakat Sumba Timur agar bisa memotivasi diri untuk memanusiakan manusia, tidak berkompromi dengan kejahatan, dan membiarkan kekerasan terjadi kepada siapa pun, termasuk orang yang dalam strata sosial adalah hamba.
Mikel menduga masih banyak perempuan di Pulau Sumba yang punya nasib seperti ITA. Namun, sering kali menyembunyikan kejadian yang dialami karena rasa takut dan kekhawatiran karena tidak ada ruang untuk bisa keluar dari tindakan kekerasan.
"Sehingga kemungkinan mereka ikhlas menerima kenyataan tersebut. Saat saya mendampingi ITA dan anaknya, saya selalu memikirkan bagaimana kehidupannya nanti, konsekuensi yang dia pilih untuk keadilannya akan membuat dia seperti hidup hanya dengan anaknya sendiri di dunia ini yang masih kecil, tetapi ITA tetap ITA yang kuat, ITA yang berani, ITA yang mencari keadilan," tegas Mikel.
Simak Video "Video APPA: 75% Narapidana di NTT Merupakan Pelaku Kejahatan Seksual"
(iws/iws)