Aktivis hukum di Kabupaten Buleleng, Bali, bernama Gede Putu Arka Wijaya ditangkap oleh polisi. Ia ditangkap lantaran terjerat kasus penipuan dan/atau penggelapan hingga menyiarkan berita yang dapat menerbitkan keonaran masyarakat.
"Perkara yang dilaporkan dugaan tindak pidana penipuan dan/atau penggelapan dan/atau menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat," kata Kabid Humas Polda Bali Kombes Jansen Avitus Panjaitan dalam keterangan tertulis kepada detikBali, Kamis (23/11/2023).
Jansen menjelaskan perkara ini bermula dari kasus tanah. Arka Wijaya awalnya mengajukan permohonan kompensasi kredit ke PT BPR Nur Abadi senilai Rp 400 juta untuk pembelian sebidang tanah dan bangunan berupa rumah kos. Pembiayaan dari PT BPR Nur Abadi dicairkan pada Jumat (4/1/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tanah dan bangun yang dibeli memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) nomor 1028 seluas 300 meter persegi atas nama Putu Arimbawa. Tanah yang dibeli berlokasi di Desa Sambangan, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng.
Setelah itu dibuatkan Cover Note Surat Keterangan yang ditandatangani oleh notaris Nyoman Edi Kurniawan pada 18 Januari 2019. Isi dari surat tersebut bahwa memang benar telah ditandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) antara I Nyoman Widiyasa dari PT BPR Nur Abadi dan Arka Wijaya.
Selanjutnya sertifikat tersebut diarahkan ke Nyoman Edi Kurniawan untuk dilakukan proses balik nama dan APHT sesuai dengan kwitansi pembayaran untuk balik nama dan APHT sejumlah Rp 4,9 juta oleh PT BPR Nur Abadi.
Namun Arka Wijaya ternyata menjual kembali sebidang tanah yang dibeli tanpa seizin dan sepengetahuan PT BPR Nur Abadi. Tanah dijual kepada Putu Dody Prahita dan proses balik nama tersebut dilakukan oleh notaris Nyoman Edi Kurniawan.
Transaksi jual beli SHM tersebut dibuktikan dengan pembayaran yang dilakukan secara bertahap yang dikirim ke rekening BCA atas nama Arka Wijaya. Pembayaran bertahap yakni Rp 200 juta pada 18 Januari 2019, Rp 15 juta pada 14 Maret 2019, Rp 150 juta pada 18 Maret 2019, Rp 310 juta pada 21 Maret 2019, dan Rp 15 juta pada 19 Juni 2019.
Tak berhenti sampai di sana, Putu Dody Prahita kemudian kembali menjual tanah tersebut kepada pria bernama Nyoman Lameg.
Namun pada Selasa (31/5/2022) sekitar pukul 10.00 Wita, Arka Wijaya datang bersama sejumlah masyarakat kurang lebih 20 orang dilengkapi dengan spanduk untuk berorasi di depan PT BPR Nur Abadi. Saat itu ia bermaksud menemui Direktur PT. BPR Nur Abadi.
Sebelum itu, Arka Wijaya berorasi di depan masyarakat yang melakukan aksi demo dan beberapa nasabah yang pada saat itu melakukan transaksi. Ia saat itu menyebutkan sebenarnya sertifikat masih berada di Nyoman Edi Kurniawan untuk proses balik nama ke Arka Wijaya yang selanjutnya akan dijadikan jaminan di PT BPR Nur Abadi.
Arka Wijaya saat itu menuduh PT BPR Nur Abadi telah menyimpan atau membawa SHM nomor 1028 atas nama Putu Arimbawa. Menurutnya, SHM itu seharusnya diserahkan kepadanya.
"Padahal sebenarnya sertifikat tersebut sudah dialihkan oleh dirinya kepada pihak ketiga atas nama Putu Dody Prahita sejak tanggal 18 Februari 2019 sesuai dengan kwitansi pembayaran DP dari Putu Dody Prahita kepada saudara Gede Putu Arka Wijaya dan terdapat bukti pendukung lainnya," ungkap Jansen.
Tak hanya itu, orasi Arka Wijaya di halaman PT BPR Nur Abadi juga diunggah pada channel YouTube SINAR TIMUR TV, BREAKING NEWS, dan INTEL MEDIA BALI JANI. Tindakan yang dilakukan Arka Wijaya menyebabkan adanya kegaduhan di kalangan masyarakat terutama nasabah.
Hal itu, jelas Jansen, berdampak pada lunturnya kepercayaan terhadap PT BPR Nur Abadi sehingga nasabah melakukan penarikan dana secara berkesinambungan. "PT BPR Nur Abadi merasa dirugikan secara inmateriil. Peristiwa itu telah menjatuhkan nama baik atau martabat serta citra dan kepercayaan nasabah terhadap PT. BPR Nur Abadi," terang Jansen.
Arka Wijaya kini telah resmi menjadi tersangka. Ia dijerat dengan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan/atau Pasal 378 KUHP dan/atau Pasal 14 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
(nor/nor)