Jaksa Penuntut Umum atau JPU dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memutar rekaman percakapan antara mantan Kepala Bagian (Kabag) Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Dewa Ayu Sri Budiarti, dengan Terdakwa Korupsi DID Tabanan tahun anggaran 2018, I Dewa Nyoman Wiratmaja, dalam sidang pada Selasa (12/7/2022). Dalam rekaman percakapan itu terungkap sempat ada komunikasi antara Terdakwa Dewa Nyoman Wiratmaja dengan Dewa Ayu Sri Budiarti yang membahas soal persentase fee 70 persen dan 30 persen dalam lelang proyek.
Rekaman itu diputar JPU untuk mempertegas keterangan Dewa Ayu Sri Budiarti dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang menyebutkan adanya pengkondisian jatah proyek yang akan dibiayai melalui dana insentif desa (DID) 2018.
"Saya ditelepon Pak Dewa ditanyakan bagaimana mekanisme pembagiannya," ujar Dewa Ayu Sri Budiarti saat menjadi saksi gabungan antara Terdakwa Dewa Nyoman Wiratmaja dan Eka Wiryastuti, di Pengadilan Tipikor Denpasar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam rekaman percakapan berikutnya, Saksi Dewa Ayu Sri Budiarti juga menjelaskan kepada Terdakwa Dewa Nyoman Wiratmaja soal proses lelang yang sudah berjalan.
Jaksa lantas mencecar Saksi Dewa Ayu Sri Budiarti soal persentase pembagian tersebut. "Yang dibicarakan untuk fee apa?" tanya jaksa.
Namun, Saksi Dewa Ayu Sri Budiarti memberikan keterangan tidak jelas terkait substansi rekaman percakapan itu, hingga mengundang tanya jaksa.
"Persentase-persentase itu ide atau wangsit dari siapa? Dari rekaman tersebut, itu bukan komunikasi pertama," tegas salah satu anggota JPU.
Setelah dicecar seperti itu, Saksi Dewa Ayu Sri Budiarti mengaku pembicaraan soal fee itu muncul saat dipanggil Terdakwa Ni Putu Eka Wiryastuti. Baru setelah itu komunikasi lebih lanjut dilakukan dengan Terdakwa Dewa Nyoman Wiratmaja.
Menurutnya, meski ada pembicaraan soal persentase fee tersebut, Saksi Dewa Ayu Sri Budiarti yang belakangan menjadi Kepala Badan Keuangan Daerah (Bakeuda) mengaku tidak bisa melaksanakan arahan tersebut.
"Saya tidak bisa melaksanakan arahan-arahan Ibu (Terdakwa Eka Wiryastuti) setelah menjadi Kepala Bakeuda," ujar Saksi Dewa Ayu Sri Budiarti.
Selain Dewa Ayu Sri Budiarti, JPU juga menghadirkan enam orang saksi lainnya. Di antaranya Mantan Kepala Dinas Pertanian, I Nyoman Budana; mantan Kepala Dinas Kesehatan dr I Nyoman Suratmika; mantan Kepala Dinas Kebudayaan I GN Supanji.
Sedangkan tiga saksi lainnya antara lain mantan Kepala Bagian Umum Setda Kabupaten Tabanan I Made Sumerta Yasa; mantan ajudan Terdakwa Eka Wiryastuti, I Ketut Suwita; dan mantan asisten pribadi Terdakwa Eka Wiryastuti yang bernama Ayu.
Ketiga kepala dinas tersebut dihadirkan karena OPD atau organisasi perangkat daerah yang mereka pimpin saat ini memperoleh anggaran yang bersumber dari DID 2018.
Mereka ditanya JPU mengenai proses pengusulan kegiatan yang belakangan dibiayai melalui DID. Ini seperti diungkapkan Saksi dr Suratmika yang mengaku bahwa mereka hanya merancang kegiatan untuk diusulkan kepada Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).
Sedangkan untuk pembiayaan kegiatan yang dirancang tersebut mereka mengaku tidak mengetahui kalau sumbernya dari DID. "Kami hanya menerima saja. Sumbernya tidak kami ketahui," kata dr Suratmika.
Keterangan yang sama juga disampaikan mantan Kepala Dinas Pertanian I Nyoman Budana. Ia menjelaskan, perencanaan kegiatan berdasarkan proposal yang diajukan kelompok-kelompok tani dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Daerah (Musrenbang) yang kemudian diajukan kepada TAPD.
Budana mengaku tidak mengetahui dari mana sumber biaya dari kegiatan yang direncanakan tersebut. Ia baru tahu setelah DID cair.
Sama seperti Diskes, dinas yang pimpin saat itu memperoleh anggaran sekitar Rp 8 miliar lebih dari DID.
Penasihat hukum Terdakwa Ni Putu Eka Wiryastuti, Warsa T Buana sempat bertanya kepada saksi Budana soal realisasi anggaran yang bersumber dari DID tersebut yang hanya mencapai sekitar Rp 6,6 miliar.
Dalam keterangannya, Budana menyebutkan ada beberapa program yang pada akhirnya tidak bisa berjalan. Seperti pembangunan gedung untuk bantuan hibah dari Pemerintah Kota Toyama yang batal.
Selanjutnya anggaran pendamping sebesar 20 persen pada program Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) yang oleh pemerintah telah ditutupi sebesar 80 persen.
"Tapi Inspektorat saat itu belum menyetujui pelaksanaannya agar subsidinya tidak tumpang tindih. Sehingga 20 persen (dana pendamping) dari kabupaten tidak terealisasi," pungkasnya.
Warsa juga bertanya apakah, Saksi Budana sering berkomunikasi dengan Terdakwa Dewa Wiratmaja dan menegaskan apakah dari anggaran DID itu ada yang dipotong. "Tidak ada," jawab Budana.
(kws/kws)