Betetulak Bala: Tradisi Suku Sasak untuk Menolak Musibah dan Membersihkan Diri

Betetulak Bala: Tradisi Suku Sasak untuk Menolak Musibah dan Membersihkan Diri

Adila Farhah Nursyifa - detikBali
Senin, 01 Des 2025 07:30 WIB
Tradisi Betetulak Bala digelar setiap tahunnya di Desa Pengadangan, Pringgasela, Lombok Timur, NTB. ( Instagram @indriana_mitra_sari)
Foto: Tradisi Betetulak Bala digelar setiap tahunnya di Desa Pengadangan, Pringgasela, Lombok Timur, NTB. ( Instagram @indriana_mitra_sari)
Mataram -

Tradisi Betetulak Bala digelar setiap tahunnya di Desa Pengadangan, Pringgasela, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Setiap tradisi digelar, jalanan di desa ini dipenuhi ratusan dulang, bebauan rempah, dan gema doa yang melangit.

Tradisi tua Betetulak Bala masih dijaga sepenuh hati oleh masyarakat Suku Sasak. Sebuah ritual adat yang bukan hanya warisan budaya, tetapi juga bentuk penyerahan diri dan penebusan atas segala khilaf manusia kepada Sang Pencipta. Menariknya, adat ini selalu dilaksanakan di desa Pengadangan.

Makna 'Tulak' Mengembalikan Segala Musibah

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tradisi Betetulak Bala digelar setiap tahunnya di Desa Pengadangan, Pringgasela, Lombok Timur, NTB. ( Instagram @indriana_mitra_sari)Tradisi Betetulak Bala digelar setiap tahunnya di Desa Pengadangan, Pringgasela, Lombok Timur, NTB. ( Instagram @indriana_mitra_sari)

Nama Betetulak berasal dari kata 'tulak' dalam bahasa Sasak yang berarti kembali. Tradisi ini diyakini sebagai ritual pengembalian segala jenis musibah, penyakit, dan bahaya, agar kembali kepada Sang Pengendali seluruh alam, Allah SWT. Masyarakat menyebutnya Tulak Tipak Siq Skeq yang bermakna mengembalikan segala urusan kepada yang Maha Kuasa.

Tradisi ini telah dilakukan turun-temurun, biasanya setelah terjadi wabah penyakit, bencana alam, atau pada awal tahun Islam. Namun pada banyak kesempatan, Betetulak juga digelar pada bulan-bulan besar seperti Maulid.

ADVERTISEMENT

Warisan Sunan Perapen yang Menyatu dengan Budaya Sasak

Menurut cerita masyarakat, Betetulak merupakan tradisi yang dibawa oleh Sunan Perapen juga dikenal sebagai Raden Patikal yang menyebarkan Islam di tanah Sasak. Seiring waktu, ajaran-ajaran spiritual yang dibawa Sunan Perapen bertransformasi menjadi ritual budaya, dipadukan dengan unsur lokal hingga menjadi identitas masyarakat Sasak hingga kini.

Ini menjadikan Betetulak bukan sekadar ritual adat, melainkan cerminan perjalanan spiritual masyarakat Lombok, perpaduan antara ajaran Islam dan akar budaya Nusantara.

Ritual yang Menggerakkan Satu Desa

Tradisi Betetulak Bala digelar setiap tahunnya di Desa Pengadangan, Pringgasela, Lombok Timur, NTB. ( Instagram @indriana_mitra_sari)Tradisi Betetulak Bala digelar setiap tahunnya di Desa Pengadangan, Pringgasela, Lombok Timur, NTB. ( Instagram @indriana_mitra_sari)

Pada hari Betetulak digelar, suasana desa berubah menjadi perayaan spiritual yang hangat.

Para pria dari tiap keluarga berkumpul di satu tempat untuk menjalankan ritual inti. Sementara itu, para perempuan mempersiapkan dulang, nampan besar berisi makanan hasil bumi seperti umbi, buah-buahan, sayuran, hingga serabi bekerem. Menariknya, hidangan ini tidak boleh menyertakan daging sapi dan ayam.

Hidangan tersebut kemudian ditutup dengan tembolak, tudung saji merah khas Lombok yang terbuat dari daun lontar atau kelapa kering. Dengan pakaian adat Lambung, para perempuan mengarak dulang menuju pelataran masjid atau lapangan desa. Barisan panjang yang rapi, warna-warni tembolak, dan senyum masyarakat menciptakan pemandangan yang memikat wisatawan dan peneliti budaya.

Simbol-Simbol Ritual, Dari Asal Usul Kehidupan hingga Pengampunan

Ritual Betetulak tidak lepas dari simbol-simbol yang sarat makna:

1. Bubur Puteq (putih) melambangkan bapak

2. Bubur Abang (merah) melambangkan ibu

Keduanya menjadi simbol asal-usul manusia, bahwa manusia dicipta dari pertemuan dua unsur, dua takdir, dua kisah. Sementara serabi bekerem menggambarkan hadirnya kehidupan baru, anak dalam kandungan yang menjadi anugerah Allah.

Pada hari ketiga, hadir pula ketupat besar dan kecil sebagai simbol rasa syukur atas limpahan rezeki Tuhan. Simbol-simbol ini memperlihatkan bahwa Betetulak merupakan ritual tentang kembali ke asal, mengakui ketidaksempurnaan, dan memohon diperbaiki.

Betetulak sebagai Penebusan dan Pembersihan Diri

Dalam perspektif budaya, Betetulak mengandung nilai penebusan dosa. Namun bukan dalam pengertian ritual penghapus dosa layaknya konsep teologis formal, melainkan penebusan sosial dan spiritual.

Masyarakat datang membawa dulang bukan untuk pamer, bukan untuk formalitas melainkan sebagai bentuk kerendahan hati:

1. mengakui bahwa manusia bisa khilaf

2. bahwa bencana sering kali dipahami sebagai teguran

3. dan bahwa memohon perlindungan adalah bagian dari kesadaran diri

Betetulak menjadi ruang bersama untuk membuka hati, membersihkan diri dari kesombongan, dan mengembalikan hidup ke garis yang selaras dengan alam dan Sang Pencipta.

Masyarakat menegakkan kembali nilai yang paling fundamental, bahwa manusia saling membutuhkan, dan keharmonisan hanyalah mungkin bila hati bersih dari iri, amarah, dan kesalahan yang tidak diakui.

Halaman 3 dari 2


Simak Video "Video: Turis Brasil Jatuh ke Jurang 200 Meter saat Mendaki Rinjani"
[Gambas:Video 20detik]
(nor/nor)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads