Alasan Umat Hindu Bali Pakai Beras di Jidat Setelah Sembahyang

Alasan Umat Hindu Bali Pakai Beras di Jidat Setelah Sembahyang

Rizky Munte - detikBali
Jumat, 21 Feb 2025 12:45 WIB
Ni Komang Nartini, gadis Bali memakai bija setelah sembahyang. (Dok. pribadi Nartini)
Foto: Ni Komang Nartini, gadis Bali memakai bija setelah sembahyang. (Dok. pribadi Nartini)
Bali -

Umat Hindu memiliki kebiasaan unik. Salah satunya, mereka memakai beras di kening atau jidat setelah bersembahyang. Beras ini juga biasanya diletakkan di tenggorokan. Ada pula yang memakainya pada daun telinga hingga di atas kepala.

Beras yang dipakai setelah sembahyang itu disebut bija. Mawija atau mabija adalah tahapan setelah selesai upacara mathirta atau mendapatkan air setelah sembahyang. Metirta dan mebija merupakan bagian akhir dari sebuah upacara persembahyangan.

Pada tahap ini, bija yang merupakan butiran-butiran beras akan ditempelkan pada kening dan leher peserta upacara. Namun, perlu diingat, setiap komunitas Hindu di Indonesia mungkin memiliki cara sendiri dalam menggunakan bija.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bija terbuat dari beras yang dicuci bersih, direndam dalam air cendana, dan diberi pewarna kunyit agar berwarna kuning. Namun, dalam perkembangannya, ada yang hanya menggunakan beras yang dicuci bersih.

Makna dari Bija

Bija atau wija adalah komponen penting yang terdapat dalam canang. Dalam ajaran Veda, tindakan sederhana ini memiliki makna yang mendalam. Bija idealnya terbuat dari beras yang utuh dan tidak patah (aksata).

Wija atau bija adalah simbol Kumara, putra atau bija dari Bhatara Siwa. Pada dasarnya, Kumara merujuk pada benih spiritual yang ada dalam setiap individu. Mawija mengandung arti untuk mengembangkan benih spiritual ini dalam diri seseorang. Benih ini hanya bisa tumbuh dan berkembang jika pikiran dan hati seseorang bersih dan suci. Oleh karena itu, mawija dilakukan setelah matirta.

Dalam diri manusia, ada sifat kedewataan (Daiwi-sampad) dan sifat keraksasaan (Asuri-sampad). Kedua sifat ini ada dalam pikiran dan hati manusia. Mengembangkan benih spiritual berarti memupuk sifat kedewataan ini agar bisa mengatasi sifat keraksasaan.

ADVERTISEMENT

Guna mengembangkan sifat kedewataan ini dalam pikiran dan hati manusia, penghormatan dilakukan di dua tempat penting, yaitu dalam pikiran dan tengah-tengah kening serta melalui menelan bija tersebut. Perlu diingat, selain sebagai simbol Kumara, wija atau bija juga digunakan sebagai persembahan.

Filosofi dari Bija

Dilansir dari Mantra Hindu Bali, bija memiliki beberapa makna filosofis yang terkait dengan spiritualisme sebagai berikut.

  1. Makna Kata Asal
    Bija berasal dari bahasa Jawa Kuno yang diadopsi dari kata "vija" dalam Bahasa Sanskerta. "Vija" terkait dengan "Om," yang merupakan nama utama Tuhan. Memakai bija di kening berarti memuja Tuhan dalam wujud Omkara dan menunjukkan konsentrasi pikiran menuju kesempurnaan Tuhan.
  2. Makna Anatomi
    Dalam konteks Siva Samhita, ada tujuh cakra utama yang memengaruhi fungsi biologis dan fisiologis tubuh. Salah satunya adalah Cakra Ajna yang terletak di kedua alis dan berhubungan dengan pemakaian bija. Aktivasi cakra ini diharapkan dapat menciptakan kesehatan yang baik.
  3. Makna Benih
    Bija terbuat dari beras yang melambangkan lingga, simbol Siva Mahadeva, serta alam semesta yang berbentuk bulat. Bija adalah benih padi yang melambangkan pertumbuhan kesucian dalam kehidupan.
  4. Makna Kesungguhan dan Kesadaran
    Memakai bija menandakan keyakinan dan kesadaran akan kewajiban untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Ini menciptakan rasa perlindungan dan penghargaan terhadap eksistensi semua makhluk sebagai bagian dari kekuasaan Tuhan.

Tata Cara Penggunaan dan Penempatan Bija

Dalam praktik spiritual, bija diletakkan di lima titik atau disebut Panca Adisesa. Titik peletakannya, yaitu dalam tubuh yang dianggap sensitif terhadap sifat-sifat kedewataan atau ke-Siwa-an.

  1. Pusat di pusar, disebut sebagai titik Manipura Cakra, terkait dengan kekuatan dan keberanian.
  2. Di bagian hulu hati, yang disebut Hana Hatta Cakra, dianggap sebagai tempat zat ketuhanan yang terkonsentrasi.
  3. Di leher, di luar kerongkongan atau tenggorokan, disebut sebagai titik Wisuda Cakra, melambangkan penyucian.
  4. Di dalam mulut, langsung ditelan sebagai simbol kesucian rohani.
  5. Di antara dua alis mata, disebut Anja Cakra, sering dikaitkan dengan peningkatan kesadaran spiritual dan kebijaksanaan.

Umumnya dalam praktik persembahyangan, fokus diberikan pada tiga titik utama, yaitu.

  1. Anja Cakra, untuk menumbuhkan kebijaksanaan.
  2. Wisuda Cakra, untuk mencapai kebahagiaan melalui penyucian.
  3. Di dalam mulut, untuk mencapai kesempurnaan hidup melalui kesucian rohani.



(iws/iws)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads