Mengenal Konsep Catur Asrama: Jenjang Kehidupan dalam Kepercayaan Hindu Bali

Mengenal Konsep Catur Asrama: Jenjang Kehidupan dalam Kepercayaan Hindu Bali

Ni Wayan Santi Ariani - detikBali
Jumat, 20 Sep 2024 03:30 WIB
Pemuka agama Hindu memercikkan air suci saat persembahyangan Hari Raya Galungan di Pura Jagatnatha, Denpasar, Bali, Rabu (4/1/2023). Perayaan Hari Galungan merupakan hari kemenangan kebenaran (Dharma) atas kejahatan (Adharma) yang dirayakan setiap enam bulan sekali dengan persembahyangan di tiap-tiap pura yang ada di Bali. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/rwa.
Foto: Masyarakat Hindu Bali. (ANTARA FOTO/FIKRI YUSUF)
Bali -

Tujuan utama hidup manusia dalam ajaran Agama Hindu adalah mencapai moksa "moksartham jagadhita ya caiti dharmah" atau "jagadhita dan moksa". 'Jagadhita' memiliki arti kesejahteraan jasmani dan 'moksa' berarti ketentraman batin atau kehidupan abadi dengan menyatunya atman dengan brahman.

Guna mencapai itu, manusia terlebih dahulu harus menempuh berbagai jenjang kehidupan atau dalam konsep ajaran Hindu disebut Catur Asrama. Lantas apa saja jenjang kehidupan berdasarkan konsep Catur Asrama?

Berikut merupakan penjelasan Catur Asrama dikutip dari artikel ilmiah "Ajaran Catur Asrama Perspektif Konsepsi Hidup Untuk Mencapai Tujuan Hidup" karya I Nyoman Subrata dan berbagai sumber lainnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengertian Catur Asrama

Catur Asrama berasal dari dua kata yakni 'catur' yang berarti empat dan 'asrama' yang berarti jenjang atau tahapan. Berdasarkan arti tersebut, Catur Asrama dimaknai sebagai empat jenjang atau tahapan kehidupan yang harus dijalankan guna mencapai moksa.

Lebih spesifik, Catur Asrama dapat diartikan sebagai empat tingkatan hidup manusia. Pada setiap tingkatannya terdapat tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan berdasarkan masanya.

ADVERTISEMENT

Pembagian Catur Asrama

Sesuai dengan definisinya, Catur Asrama dibagi menjadi empat jenjang atau tahapan kehidupan beserta tugas kewajibannya sebagai berikut.

  • Brahmacari Asrama

Manusia pada jenjang ini memiliki tugas dan kewajiban untuk berguru guna mendapatkan ilmu pengetahuan Weda. Pengetahuan Weda yang dimaksud adalah untuk memperoleh kebahagiaan material (jagadhita) dan pengajaran mengenai tujuan hidup kerohanian (moksa). Manusia pada masa ini, yang paling diprioritaskan adalah Dharma, Artha, Kama, dan Moksa.

Dalam naskah bahasa Jawa Kuno yang Agastia Parwa disebutkan tentang Brahmacari sebagai berikut:
"Brahmacari ngarannya sang sedeng mangabyasa sanghyang sastra, muang sang wruh ring tingkahing sanghyang aksara samangkana kramanya sang brahmacari ngaranya Kunang sang sinangguh brahmacari ring loka ikang tang sanggraheng wisaya istryadi, yeka brahmacari ring loka. Kunang ikang brahmacari waneh sinangguh brahmacari caranam, paraning atmapradesa sang kesepania, sang yogiswara sira brahmacari ring sastrantara ring sastrajna"

Artinya:
Brahmacari namanya orang sedang mempelajari ilmu pengetahuan (sastra) dan yang mengetahui perihal ilmu huruf (aksara), orang yang demikian pekerjaannya bernama brahmacari.

Adapun Brahmacari dibagi menjadi empat jenis, yakni:

  • Sukla Brahmacari Asrama: merujuk pada orang yang tidak kawin seumur hidupnya, tetapi bukan karena cacat badan seperti: wangdu, bahkan tidak pernah membicarakan tentang perkawinan sampai di hari tuanya.
  • Sewala Brahmacari Asrama: merujuk pada orang yang kawin hanya sekali saja seumur hidupnya meskipun ditinggal mati oleh istrinya.
  • Krsna Brahmacari Asrama: merujuk pada orang yang kawin lebih dari sekali dan paling banyak empat kali

  • Grahasta Asrama

Manusia pada jenjang ini memulai hidup rumah tangga sebagai suami istri. Tujuan hidup yang diprioritaskan pada jenjang ini adalah artha dan kama.

Di dalam Agastia Parwa dijelaskan tentang Grahasta Asrama sebagai berikut:
"Grhasta ta sira mastri pwa sira, manak madrewya Hulu, ityewawadi, mangunake kayekadharma yat hasakti"

Artinya:
Grhasta-lah beliau, mempunyai anak, memiliki abdi, memupuk kebajikan yang berhubungan dengan pembinaan diri pribadi, (kayika dharma) dengan kekuatan yang kehidupan

  • Wanaprastha Asrama

Wanaprastha terdiri dari kata 'wana' yang berarti pohon katu atau semak belukar dan 'prastha' yang berarti berjalan atau berdoa dengan baik. Jenjang wanaprastha diartikan sebagai kegiatan mengasingkan diri dengan menjauhi dunia ramai secara perlahan-lahan untuk melepaskan diri dari ikatan duniawi.

Manusia pada jenjang Wanaprastha Asrama sudah waktunya untuk hidup dengan mencari ketenangan batin dan melepaskan diri dari segala keterikatan mewahnya kehidupan dunia. Masa wanaprastha biasanya dimulai pada usia 60 tahun ke atas. Adapun manfaat menjalankan hidup Wanaprastha yakni:

  • Untuk mencapai ketenangan rohani
  • Memanfaatkan rasa kehidupan di dunia untuk mengabdi dan berbuat amal kebaikan kepada masyarakat umum
  • Melepaskan segala keterikatan terhadap duniawi

  • Bhiksuka Asrama

Kata bhiksuka berasal dari kata 'bhiksu' yang merupakan sebutan pendeta budha. Bhiksuka adalah jenjang hidup terakhir, waktu manusia sepenuhnya melepas kehidupan duniawi untuk kemudian hanya mengabdikan diri kepada Sang Hyang Widhi dengan menyebarkan ajaran-ajaran tentang kebaikan dan kesusilaan.

Dalam ajaran Agastia Parwa dijelaskan tentang wanaprastha dan Bhisuka sebagai berikut:
"Wanaprastha ta sire, mur saking grama mwang, mungwing suci desa, makadi mukir, magawe patapan, sthananira gumawayaken panca karma mwangi wisaya mwang mangdesanaken dharma, huwus pwa sira wanaprastha, bhiksuka ta sira, mur saking patapan ira, nisparigraha,tan pangku patapan, tan pangaku sisya,tan pangku pangruh, padaya tininggalaken ira"

Artinya:
Wanaprastha-lah beliau. Pergi dari desa dan menetap di tempat yang bersih suci terutama di gunung. Mendirikan pertapaan sebagai tempatnya melakukan panca karma dan mengurangi nafsu keduniawian serta mengajarkan ajaran kerohanian. Setelah beliau mengajarkan ajaran kerohanian. Setelah beliau melakukan wanaprastha, bhiksuka-lah beliau, pergi dari pertapaannya. Tiada terikat, tidak mengaku memiliki pertapaan, tidak merasa punya murid, tidak merasa berpengetahuan, semua itu ditinggalkan oleh beliau.

Pada jenjang bhiksuka, manusia hanya memiliki satu prioritas, yakni untuk mencapai moksa atau keabadian dengan menyatu kembali bersama brahman.


Demikianlah tahap-tahap kehidupan dalam konsep ajaran agama Hindu. Setiap jenjang memiliki tugas dan kewajiban serta berbagai hal yang dapat diprioritaskan manusia. Namun, bila sudah pada masanya, manusia yang sampai pada tahap bhiksuka harus memfokuskan diri untuk menempuh ajaran suci dan melepaskan diri sepenuhnya dari keterikatan duniawi.

Semoga informasi ini dapat berguna bagi detikers dan menambah wawasan mengenai konsep-konsep kehidupan dalam ajaran agama Hindu.




(hsa/hsa)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads