Masyarakat Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), sekarang mayoritas beragama Islam. Namun jauh sebelum itu, peradaban Hindu-Buddha pernah ada di sana. Hal itu dibuktikan dengan adanya situs Wadu Pa'a.
Wadu Pa'a adalah dua kata yang diserap dari bahasa lokal Bima (Mbojo). Wadu memiliki makna batu, sementara Pa'a berarti pahat. Dengan begitu, Wadu Pa'a adalah batu yang dipahat.
Situs Wadu Pa'a sendiri lokasinya berada di Jalan lintas Bajo-Sampungu atau tepatnya di Dusun Sowa, Desa Kananta, Kecamatan Soromandi, Kabupaten Bima, NTB. Jaraknya dari pusat Kabupaten Bima sekitar 20 kilometer.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk menuju lokasi situs ini bisa melalui jalur laut dengan menggunakan perahu atau kapal dan jalur darat dengan motor atau mobil. Akses jalannya cukup bagus. Namun para pengendara perlu berhati-hati karena ada beberapa tanjakan yang rawan terjadinya kecelakaan lalulintas.
Sejarahwan dan budayawan Bima, Fahrurizki mengungkapkan di situs Wadu Pa'a ada terdapat beberapa bentuk pahatan relief agama Hindu-Buddha seperti Dewa Ganesha, Sang Buddha, Chattra, Lingga, hingga Siwa Mahaguru.
"Pahatan relief ini menandakan bahwa Wadu Pa'a dulu, menjadi lokasi untuk pemujaan Hindu bercampur dengan Buddha," katanya kepada detikBali, Minggu, (30/6/2024).
Ia mengaku pengaruh Hindu-Buddha di Bima saat itu, juga diperkuat dengan adanya tulisan di situs Wadu Pa'a menggunakan bahasa Pallawa. Salah satu bahasa yang dipakai oleh kerajaan Hindu tertua di Indonesia yakni Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur dengan rajanya bernama Mulawarman.
"Dulu kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara hampir semua alat komunikasinya menggunakan bahasa Pallawa. Bahasa dan aksara (Pallawa) ini juga sama terdapat di situs Wadu Pa'a," ujarnya.
Fahrurizki mengungkapkan pengaruh dan ajaran Hindu Jawa di Bima kala itu, juga sangat kental dan kuat. Hal itu, banyak ditemukannya cagar budaya berbahasa sansekerta, seperti wadu wawi (batu babi) dan wadu tunti (batu tulis ).
"Dalam naskah turunan sangaji dan ncuhi, Kerajaan Hindu di Bima diprakirakan berdiri sekitar abad ke-11 Masehi. Dengan pengaruh kerajaan Hindu Jawa yang sangat kental," tuturnya.
![]() |
Sudah Sejak Abad ke-8 Masehi
Pada 5 Juli 2024, Kabupaten Bima, NTB akan merayakan hari jadi yang ke-384 tahun. Bima sendiri lahir pada 1640 Masehi atau abad ke 17 masehi yang ditandai peralihan era zaman Kerajaan menjadi Kesultanan.
Jauh sebelum Kerajaan Bima berdiri pada abad ke -11 Masehi, namun jejak pengaruh dan ajaran agama Hindu-Buddha di Bima sudah ada sejak abad ke-8 Masehi. Pasalnya abad tersebut, situs wadu Pa'a sudah ada.
"Hasil penelitian, situs Wadu Pa'a diprakirakan dibuat sejak abad ke-8," kata Fahrurizki.
Fahrurizki mengulas, sebelum terbentuk seperti saat ini, Bima dulunya ada dua hegemoni wilayah yakni bagian barat dan timur teluk Bima. Wilayah bagian barat meliputi Wadu Pa'a, hingga Campa dengan pusat Pemerintahan di Bolo. Sementara di bagian timur teluk Bima meliputi Wera hingga Woha.
"Dari Wadupa'a, Bolo dan Campa banyak ditemukan artefak dan cagar budaya seperti wadu tunti (batu tulis sanskerta) dan patung dewa-dewa Hindu-Buddha di Desa Tambe," katanya.
Sebelum masuk Hindu-Buddha, warga Bima dulu juga menganut kepercayaan parafu ro waro (arwah leluhur). Parafu ro waro adalah kepercayaan lokal Bima dengan sumber mata air sebagai pusat sesembahan.
"Kepala wilayah di Bima saat itu disebut Ncuhi. Pusat pemerintahan di Bolo (sansekerta) yang memiliki makna sekutu atau koalisi," tuturnya.
Pelabuhan-Peradaban Pertama di Bima
Menurut Fahrurizki, Wadu Pa'a awalnya dikira kuil yang sengaja dipahat oleh dua bersaudara, Indra Zamrud dan Indra Komala, anak bangsawan dari Jawa bernama Sang Bima, yang juga menantu dari Ncuhi Dara, sebutan untuk pemimpin Bima kala itu.
"Kalau dilihat dari abad pembuatan Wadu Pa'a, Bima sudah mempunyai aktifitas maritim dan peradaban pada saat itu," terangnya.
Selain dijadikan pelabuhan laut tempat bersandarnya perahu dan kapal, Wadu Pa'a dulu juga dijadikan sekolah atau tempat belajar. Hal itu adanya pahatan relief Ganesha, salah satu Dewa yang menjadi simbol pendidikan atau ilmu pengetahuan di agama Hindu.
"Selain itu juga ada patung Sang Budha dan mahaguru dewa Siwa. Yang dijadikan lokasi untuk sembahyang ajaran Hindu-Budha," katanya.
![]() |
Diurus Balai Arkeolog Denpasar
Fahrurizki mengatakan saat ini situs Wadu Pa'a diurus dan menjadi bagian dari perlindungan Balai Arkeologi Denpasar. Meski begitu Pemerintah daerah yang memiliki wilayah diharapkan harus berperan aktif untuk menjaga dan merawatnya.
"Keadaan dan kondisi Wadu Pa'a sekarang ini perlu dilakukan semacam konservasi. Karena kalau hujan besar, air yang membawa tanah akan menutupi situs ini," ujarnya.
Fahrurizki menambahkan jika tak dirawat atau dibiarkan begitu, tidak menutup kemungkinan generasi kedepan takkan bisa melihat secara gamblang situs Wadu Pa'a yang pernah menjadi pusat peradaban pertama Bima.
"Situs Wadu Pa'a, Wadu Wawi, Wadu tunti, jika dibiarkan begitu saja bertahun-tahun nanti akan menjadi batu. Sekarang hanya jadi lokasi tempat rekreasi dan sesekali tempat pemujaan para pendatang di Bima khususnya yang beragama hindu," imbuhnya.
(dpw/dpw)