Kota Denpasar di Provinsi Bali menyimpan sejarah yang panjang. Kota ini menjadi pusat budaya dan seni yang hidup, dengan festival-festival tahunan yang meriah dan beragam tradisi yang dilestarikan secara turun temurun.
Denpasar juga telah lama menjadi magnet bagi para pelancong yang mencari keindahan alam tropis dan warisan budaya yang kaya. Kota seluas 127,78 kmΒ² atau 2,18% dari luas wilayah Provinsi Bali ini menawarkan pengalaman wisata yang tak terlupakan bagi setiap pengunjungnya.
Seiring dengan berkembangnya industri pariwisata, Kota Denpasar menjadi salah satu pusat kegiatan bisnis di Bali. Kota Denpasar terdiri dari 4 kecamatan, 16 kelurahan, dan 27 desa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Simak sejarah perkembangan Kota Denpasar dari masa kerajaan hingga republik seperti dirangkum detikBali berikut ini:
Denpasar pada Masa Kerajaan
Denpasar, sebelumnya dikenal sebagai Badung, awalnya hanya merupakan nama istana yang didirikan oleh I Gusti Gde Pemecutan setelah kematian Raja Badung pada tahun 1861. Kerajaan Badung sendiri dibangun pada akhir abad ke-17 oleh I Gusti Ngurah Jambe Pule, namun kemudian direbut oleh Mengwi pada tahun 1721.
Setelah hampir seabad, pada tahun 1800, Badung berhasil dibebaskan dari Mengwi oleh I Gusti Ngurah Pemecutan Sakti. Pembagian wilayah kekuasaan di Badung terjadi setelah kematian I Gusti Ngurah Pemecutan Sakti, yang kemudian wilayahnya dibagi-bagi kepada ketiga putranya.
Puri Denpasar kemudian dibangun pada tahun 1859 oleh I Gusti Ngurah Gde Pemecutan, yang kemudian diberi gelar I Gusti Ngurah Gde Denpasar. Setelah kematian Anglurah Kesiman pada tahun 1861, I Gusti Ngurah Gde Denpasar menggantikannya sebagai raja Badung.
Selama masa pemerintahannya, Badung berupaya membangun hubungan dengan kerajaan lain di Bali, seperti Tabanan, dan menghindari konflik dengan Belanda. Sistem pemerintahan di Badung terdiri dari struktur hierarki yang terorganisir dengan baik, yang melibatkan berbagai tingkatan pejabat seperti punggawa, manca, dan perbekel.
Namun, pada 1906, Badung mengalami Puputan yang mengakibatkan gugurnya raja beserta seluruh keluarga istana dalam upaya untuk mempertahankan kehormatan dan kebebasan mereka.
Denpasar pada Masa Sebagai Kota Kolonial
Setelah peristiwa Puputan Badung pada tahun 1906, nama Denpasar pertama kali muncul sebagai sebutan sebuah tempat, menggantikan nama Badung, karena menjadi lokasi pertempuran di sekitar Puri Denpasar. Orang Belanda yang terlibat dalam pertempuran itu menyebut wilayah sekitar Puri Denpasar sebagai "Denpasar". Nama ini kemudian berkembang sebagai nama pusat pemerintahan kolonial yang dihuni oleh Assisten Residen Swartz, yang mengawasi wilayah Afdeeling Zuid Bali.
Dengan Belanda keluar sebagai pemenang dalam Puputan Badung, seluruh wilayah Kerajaan Badung menjadi milik Belanda. Mereka kemudian membagi-bagi wilayah Badung menjadi beberapa distrik, termasuk Distrik Kota (Denpasar), Distrik Kesiman, Distrik Kuta, Distrik Abiansemal, dan Distrik Mengwi. Wilayah Denpasar kemudian dibagi lagi menjadi beberapa kawasan, seperti Danginpuri, Dauhpuri, Pemecutan, Padangsambian, dan Kampung Jawa, yang semuanya dipimpin oleh pejabat kolonial Belanda.
Pemerintah kolonial Belanda yang berpusat di Denpasar juga memasukkan beberapa wilayah lain yang memiliki relevansi dengan pusat pemerintahan, seperti Sanur dan Tanjung Benoa, ke dalam wilayah kedistrikan kota. Hal ini terjadi setelah modernisasi pelabuhan laut di Tanjung Benoa dan Pelabuhan Udara Tuban setelah tahun 1933. Sebagai pusat administrasi, Denpasar juga mengurusi Kecamatan Kota, Kecamatan Kesiman, dan Kuta.
Denpasar pada masa Pusat Pemerintahan
Pada era sebelum jatuhnya Kerajaan Badung di tangan Belanda, pemerintah kolonial Belanda telah membentuk Keresidenan Bali dan Lombok pada tahun 1881, yang merupakan bagian dari Keresidenan Besuki yang lebih besar. Keresidenan ini terdiri dari tiga bagian: Noorden Bait, ZuJd Bait, dan Lombok. Noorden Bait diurus oleh residen Bali dan Lombok, dengan berkedudukan di Singaraja.
Lombok memiliki kedudukan di Mataram, sementara setelah jatuhnya Badung, Afdeeling Zuid Bali dipindahkan ke Denpasar. Denpasar, yang mengelola wilayah luas termasuk Zuid Bali, kemudian mengalami pembangunan oleh pemerintah kolonial, termasuk perluasan jalan, pembangunan perkantoran, dan pembenahan infrastruktur.
Pasar Badung, sebagai pusat perbelanjaan, mengalami pembenahan yang signifikan. Selain itu, pemerintah kolonial juga merencanakan kawasan industri, hiburan, perumahan baru, sekolah, dan kawasan perkantoran, yang semuanya mendapat tanggapan positif dari masyarakat kota.
Pembangunan Denpasar oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai pusat pemerintahan untuk wilayah Zuid (Selatan) Bali membuka lapangan kerja dan merangsang urbanisasi, yang membawa masalah sosial. Pemerintah kolonial menyadari potensi masalah yang mungkin timbul akibat urbanisasi, seperti masalah pemukiman dan kesehatan, sehingga mereka menyediakan fasilitas seperti rumah sakit, pemukiman baru, dan sarana jalan. Pembangunan ini terus berlanjut hingga akhir pemerintahan kolonial Belanda di Bali pada tahun 1942.
Selama masa pendudukan Jepang, peran Kota Denpasar hampir sama dengan masa kolonial, namun istilah dan aktivitas administratif disesuaikan dengan kebijakan Jepang. Situasi ini berlangsung hingga proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Denpasar pada Masa Sebagai Kota Republik
Sejak proklamasi kemerdekaan hingga perjuangan untuk pemulihan kedaulatan Republik Indonesia, Denpasar mengalami peristiwa penting. Dalam masa revolusi, terjadi pertempuran antara pejuang kemerdekaan dan tentara kolonial yang berusaha menaklukkan Bali. Selama periode tersebut, Denpasar menjadi pusat Konferensi Denpasar yang melahirkan Negara Indonesia Timur yang didukung oleh Belanda.
Namun, peran Denpasar sebagai ibu kota negara boneka tersebut mencoreng reputasi Bali sebagai bagian dari Republik Indonesia, di mana penduduknya berjuang untuk kemerdekaan. Setelah pemulihan kedaulatan Republik Indonesia, Denpasar secara bertahap kembali menjalankan perannya sebagai pusat pemerintahan Bali.
Pada tahun 1954, Bali termasuk dalam Provinsi Nusa Tenggara sebelum kemudian dibagi menjadi tiga provinsi pada tahun 1958, dengan Denpasar menjadi ibu kota Provinsi Bali. Denpasar juga menjadi ibu kota Daerah Badung, dengan peran ganda sebagai pusat administrasi dan tempat tinggal regent. Pembangunan fisik dan infrastruktur di Denpasar terus berlanjut untuk mendukung pertumbuhan kota ini.
Sejak Orde Baru, Denpasar mengalami pertumbuhan yang signifikan, menjadi pusat kompleks yang semakin tidak terbatas karena pertumbuhan baru dan industri. Perkembangan kota satelit dan infrastruktur modern memperluas wilayah Denpasar secara ekologis, menunjukkan evolusi pesat dari kota kecil menjadi pusat administratif dan ekonomi yang penting di Indonesia.
Artikel ini ditulis oleh Rusmasiela Mewipiana Presilla, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(iws/iws)