Salah satu pertunjukan kesenian di Bali adalah tari-tarian. Di Bali, masing-masing tarian memiliki makna tersendiri.
Tari Margapati merupakan salah satu tarian khas dari Bali. Konon, tari ini merupakan simbol sang raja hutan yang siap membinasakan mangsanya. Yuk, kenalan lebih jauh dengan Tari Margapati.
Sejarah
Tari Margapati merupakan tarian yang diciptakan oleh almarhum seniman Bali bernama Nyoman Kaler pada 1942. Tari Margapati berasal dari kata "marga" yang berarti binatang dan "pati" yang berarti raja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dapat diartikan bahwa Tari Margapati merupakan tari yang melukiskan gerakan-gerakan seekor raja hutan (singa). Tari Margapati disusun dengan koreografi perpaduan dari gaya Bali Utara dan Bali Selatan, dikutip dari blog ISI Denpasar.
Keunikan
Tari Margapati bercerita tentang seorang pemuda yang gagah berani dan melukiskan sang raja hutan (singa). Tarian ini memiliki banyak permainan mata yang melambangkan ketegasan.
Selain itu, gerakan-gerakannya merepresentasikan sang raja hutan yang sedang mengintai serta siap menerkam mangsanya. Sang penari biasanya perempuan
Tari Margapati juga memiliki makna lain. Di Bali, kata marga bermakna jalan sedangkan pati merupakan kematian.
Dengan demikian, tari ini dapat berarti jalan menuju kematian atau tarian yang menggambarkan kesalahan jalan seorang wanita. Oleh karena itu, gerakan tari ini menyerupai laki-laki meski dibawakan oleh perempuan.
Busana
Ketika mementaskan Tari Margapati, biasanya seorang penari harus menggunakan busana khusus pementasan, di antaranya desain atas menggunakan udeng pepandekan dan badong.
Untuk desain badan, pakaian dalam menggunakan tapih dan sabuk stagen berukuran kurang lebih delapan meter. Sedangkan pakaian luarnya menggunakan kamen dan sabuk prade, gelangkana, dan ampok-ampok.
Iringan Musik
Umumnya, Tari Margapati diiringi dengan gamelan gong kebyar. Namun, seiring waktu berjalan inovasi untuk mengiringi tarian ini pun semakin berkembang. Iringan bisa dilakukan dengan gamelan semar pegulingan, semara dana, maupun angklung klentangan tergantung situasinya.
Artikel ini ditulis oleh Dewa Gede Kumara Dana, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(Ronatal Siahaan/efr)