Kesenian Berko dari Kabupaten Jembrana, Bali, telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia beberapa waktu lalu. Namun sayang, seni tari yang satu ini terancam punah karena minimnya generasi penerus yang melanjutkan kesenian ini.
Terlebih ruang untuk kesenian berko dinilai masih minim. Menurut budayawan sekaligus maestro seni tari Bali, Prof I Wayan Dibia, keberadaan kesenian khas Jembrana itu belum begitu membumi, terlebih di daerahnya sendiri. Ini karena belum begitu banyak pihak yang mengapresiasi seni tari yang lahir di kalangan petani ini.
Prof Dibia mencontoh, banyak kesenian Bali yang dulunya terancam punah, bahkan sudah punah namun akhirnya bisa muncul karena rekonstruksi dan revitalisasi dilakukan serius oleh pegiatnya. Misalnya kesenian Gandrung dan Janger.
"Yang saya maksud apresiasi itu adanya ruang untuk mengenalkan lebih luas kesenian kepada khalayak. Jadi tidak di satu golongan tertentu. Itu akan masuk kelompok kesenian minor," tegas Dibia, Senin (26/12/2022).
Menurut hemat dia, jika suatu kesenian hanya berkutat di satu wilayah, tentu potensi berkembang sangat terbatas. Karena itu kesenian Berko perlu diberikan ruang tampil lebih luas sehingga menguatkan keberadaan Berko sebagai kekhasan daerah.
Prof Dibia berpesan, jika kesenian Berko merupakan kekhasan daerah, peran pemerintah daerah dalam mengupayakan keajegan Berko sangat diperlukan. Sebab jika punah, tentu Bali juga kehilangan salah satu asetnya.
Pendataan terhadap generasi kesenian ini perlu dimulai untuk kemudian dilakukan revitalisasi. "Ini sebuah keniscayaan jika kesenian langka diberikan ruang tampil lebih banyak, akan diapresiasi masyarakat, akan bertahan," ungkap budayawan yang sudah menelurkan lima jilid buku Puitika Tari ini.
Prof Dibia menjelaskan, kesenian tari Berko tergolong kesenian campuran yang menggabungkan unsur tarian, nyanyian, dan gamelan sebagai satu kesatuan. Nama tarian ini dikenal sebagai singkatan Bero Bero Neko yang lama kemudian dikenal dengan kata Berko.
Tari Berko disebut mulai muncul sekira 1925 dan populer 1930-an di wilayah Tempek Munduk Jati, Lingkungan Pancardawa, Kelurahan Pendem, Kecamatan Jembrana. Secara visual, lanjut Prof Dibia, Berko dibalut dengan cerita epos Ramayana di beberapa bagiannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
(nor/hsa)