- Sejarah dari Saput Poleng (Kain Poleng)
- Fungsi Saput Poleng (Kain Poleng)
- Filosofi Kain poleng
- Teknik Pembuatan Kain Poleng
- Apa Makna Simbolik Motif Kain Poleng dari Bali? 1. Saput Poleng Rwa Bhineda (Hitam-Putih) 2. Saput Poleng Sudhamala (Putih-Abu abu-Hitam) 3. Saput Poleng Tridatu (Putih-Hitam-Merah)
Kain poleng atau saput poleng biasanya terlihat di pura, pohon maupun dikenakan oleh umat Hindu di Bali. Kain ini memang memiliki keterkaitan yang erat dengan upacara dan kehidupan masyarakat Bali.
Bagaimana sejarah kain poleng? Apa fungsi dan filosofinya? Yuk ketahui jawabannya.
Sejarah dari Saput Poleng (Kain Poleng)
Menurut paper Saput Poleng dalam Kehidupan Umat Hindu di Bali, saput poleng adalah kain yang diberi motif hitam putih dan kadang diselingi warna abu-abu. Biasanya, kain dililitkan pada pohon-pohon tertentu, kul-kul (kentongan), pelinggih (tempat suci) yang berfungsi sebagai penjaga, arca dwarapala (patung penjaga) dan dipakai pula oleh pecalang (penjaga keamanan desa Pakraman serta dipakai pula saat kegiatan agama hindu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut sejarahnya, terdapat tiga jenis saput poleng yang masing-masing memiliki kegunaan dan fungsi berbeda. Jika warna polengnya terdiri dari hitam dan putih terbentuklah saput poleng rwa bhineda. Jika warna polengnya terdiri dari putih, abu-abu dan hitam terbentuklah saput poleng sudhamala. Sementara, jika warna motifnya adalah putih, hitam dan merah, maka akan menjadi saput poleng tridatu.
Ketiga saput poleng ini merupakan jenis saput poleng pertama yang digunakan pada kegiatan ritual agama Hindu. Sehingga, masyarakat Hindu menganggap saput poleng memiliki kesakralan.
Namun sekarang, banyak penggunaan saput poleng yang tidak memiliki hubungan dengan tempat sakral. Saput poleng anyar memiliki beberapa hiasan atau ornamen seperti patra kuta mesir, patra karang jahe, patra bungan cincang dan patra ilut tali.
Fungsi Saput Poleng (Kain Poleng)
Menurut makalah Makna dan Filosofi Kain Poleng, Saput Poleng memiliki beberapa fungsi, berikut di antaranya:
- Sebagai tedung (payung) di Pura.
- Sebagai umbul-umbul.
- Penghias patung-patung.
- Penghias sanggah-sanggah (tempat suci di pekarangan rumah.
- Sebagai pertanda bahwa benda, tempat atau pohon yang dihiasi saput poleng mempunyai kekuatan magis yang harus dihormati dan dilindungi.
- Sebagai pengingat untuk menjaga lingkungan. Mengutip jurnal Ideologi Pelestarian Lingkungan Hidup di Balik Pemakaian Saput Poleng Pada Pohon Besar di Bali, pemakaian saput poleng merupakan salah satu cerminan ajaran tri Hita Karana yang berisi kearifan logis dalam pengelolaan sumber daya alam. Pemakaian saput poleng pada pohon-pohon besar secara ideal mempunyai dampak terhadap upaya konservasi lingkungan. Artinya, kalau ada pohon besar yang dililit saput poleng, masyarakat Bali tidak berani sembarang memetik daun dan ranting ata menebangnya. Secara normatif, pemakaian saput poleng pada pohon besar di Bali bermakna sebagai salah satu upaya untuk mengendalikan perilaku masyarakat untuk tidak semena-mena terhadap lingkungannya.
- Penghias benda-benda di perkantoran maupun hotel.
- Sebagai atribut di dramatari ataupun pedalangan.
Filosofi Kain poleng
Saput poleng mempunyai makna dan filosofi tersendiri berdasarkan jenis kainnya. Istilah poleng berasal dari kata saput yang memiliki arti kain yang membalut. Sementara, poleng adalah istilah warna hitam putih yang merupakan simbol keseimbangan alam.
Kain dengan warna hitam dan putih atau Rwa Bhineda secara filosofis mengajarkan bahwa di dunia ini ada dua hal yang tidak bisa dipisahkan seperti baik-buruk, siang-malam dan panas-dingin.
Rwa Bhineda mempunyai makna mengajarkan kehidupan yang seimbang. Putih diartikan sebagai kesadaran dan kebijaksanaan. Sedangkan warna yang bertolak belakang menggambarkan sifat berlawanan.
Sementara Saput Poleng Sudhamala atau berwarna putih, hitam dan abu-abu adalah peralihan dari warna hitam dan putih. Saput poleng Tridatu dengan warna putih, hitam dan merah mengajarkan tiga sifat manusia.
Merah berarti keras, hitam malas dan putih bijak. Jika dikaitkan dengan Dewa Tri Murti, menurut kepercayaan umat Hindu, merah melambangkan dewa Brahma, hitam adalah Dewa Wisnu dan Putih Dewa Siwa.
Teknik Pembuatan Kain Poleng
Mengutip jurnal Perbedaan Kain Sarong Plekat dengan Kain Sarong Poleng serta Teknik Pembuatannya, berikut teknik pembuatan kain poleng:
- Proses pembuatan kain sarung poleng diawali dengan perencanaan berapa banyak kain yang akan dipakai, konstruksi kain hingga corak kain. Hal ini dilakukan untuk menentukan jumlah benang dan masing-masing warna.
- Bila proses pewarnaan benang sudah dilakukan, benang untuk lusi dan benang untuk pakan dipisahkan. Benang lusi adalah benang yang disilangkan ke arah panjang kain, sementara benang pakan adalah benang yang disilangkan ke arah lebar kain.
- Proses pengelosan benang lusi diatur sehingga banyaknya gulungan pada bobin kelos sesuai dengan kebutuhan dengan mempertimbangkan kapasitas rak hanian dan jumlah raport hanian. Begitu pula dengan benang pewarna untuk pakan.
- Proses penghanian dilakukan dengan mesin hani seksional.
- Benang-benang untuk pinggir atau tepi disusun pada posisi paling atas, kemudian disusul dengan benang-benang untuk motif badan.
- Pada penggulungan sesi pertama, semua benang terpasang pada rak, digulung pada silinder hanian sesuai dengan panjang yang direncanakan.
- Pada sesi kedua dan seterusnya, semua benang pada rak yang telah dikurangi benang pinggir dan tepi, digulung sesuai panjang penggulungan.
- Pada penggulungan sesi terakhir, semua benang pada rak digulung pada silinder. Namun dengan catatan, bahwa benang pinggir dan tepi posisinya dipindah ke bagian paling luar.
- Apabila semua benang sudah tergulung, maka pindahkan ke dalam boom lusi mesin tenun dengan susunan: pinggir+tepi+badan+...+badan+tepi+pinggir.
- Pencucukan benang lusi pada gun tenun disesuaikan dengan rencana tenunnya. Kemudian dilakukan penyetelan pada peralatan tenun yang dipakai.
Apa Makna Simbolik Motif Kain Poleng dari Bali?
Saput poleng memiliki makna simbolik di balik fungsinya yang beraneka ragam, yaitu:
1. Saput Poleng Rwa Bhineda (Hitam-Putih)
Dalam budaya Bali, saput Poleng merupakan ekspresi penghayatan konsep Rwa Bhineda, yaitu keseimbangan antara baik dan buruk yang menjadi intisari ajaran tantrik (tantrayana). Harapannya, dengan menjaga keseimbangan antara kebaikan dan keburukan, maka tercipta kesejahteraan dalam kehidupan.
2. Saput Poleng Sudhamala (Putih-Abu abu-Hitam)
Saput poleng Sudhalama adalah cerminan Rwa Bhineda yang ditengahi oleh perantara, sebagai penyelaras perbedaan dalam Rwa Bhineda.
3. Saput Poleng Tridatu (Putih-Hitam-Merah)
Saput poleng Tridatu melambangkan ajaran Triguna, yaitu satwam, rajah dan taman. Putih identik dengan kesadaran atau kebijaksanaan (satwam), merah adalah energi atau gerak (rajah) dan hitam melambangkan penghambat (tamah).
Saput poleng yang dikenakan oleh pecalang atau petugas keamanan desa adat juga memiliki maksud tersendiri, yaitu dimana seseorang dipercayai menjadi pengaman dan mampu dengan tegas memilah yang baik dan buruk.
Pecalang diharapkan bercermin pada saput poleng yang dikenakan, yaitu mengetahui adanya rwabhineda (keadaan baik ataupun buruk). Selanjutnya, melalui kedewasaan intelektual dan kesigapannya mampu mengendalikan situasi.
Itulah pemaparan mengenai saput poleng mulai dari sejarah, filosofi hingga fungsinya. Semoga bermanfaat.
(elk/fds)