Tajen Adalah: Sejarah Singkat dan Makna Budaya Sabung Ayam di Bali

Tajen Adalah: Sejarah Singkat dan Makna Budaya Sabung Ayam di Bali

ilham fikriansyah - detikBali
Senin, 31 Okt 2022 14:40 WIB
Peternak ayam aduan di Desa dan Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, I Nyoman Kuthariyasa (50)
Foto: I Wayan Selamat Juniasa/detikBali
-

Mungkin detikers sudah tidak asing mendengar istilah sabung ayam. Bagi kamu yang belum tahu, sabung ayam adalah permainan adu dua ekor ayam dalam sebuah arena kecil. Bila salah satu ayam keluar arena atau bahkan mati, maka ayam tersebut dianggap kalah.

Permainan sabung ayam cukup terkenal di kalangan masyarakat pada sejumlah daerah, salah satunya di Bali. Namun, di pulau Dewata memiliki istilah nama tersendiri yaitu Tajen.

Ternyata, Tajen sendiri sudah menjadi tradisi masyarakat Bali sejak ratusan tahun lalu. Lantas, bagaimana sejarah Tajen bisa muncul di Bali? Lalu apa makna di balik permainan sabung ayam ini? Simak pembahasannya secara lengkap dalam artikel ini yuk detikers.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengenal Budaya Sabung Ayam di Bali

Dijelaskan dalam e-Jurnal berjudul Gede Kamajaya, Tajen, dan Desakralisasi Pura oleh Ida Bagus Gede Eka Diksyiantara, dkk, permainan sabung ayam atau Tajen merupakan salah satu budaya masyarakat Bali yang sudah berlangsung sejak zaman Majapahit. Hal itu tertuang dalam kitab atau pedoman Pararaton, yang di zaman sekarang disebut sebagai sastra Babad.

Disebutkan dalam kitab Pararaton, Tajen sudah lama berlangsung sejak era kerajaan Bali. Akan tetapi, dalam kitab tersebut tak disebutkan apakah pada saat itu Tajen juga diiringi dengan taruhan atau tidak.

ADVERTISEMENT

Lalu, pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong yakni tepatnya pada masa Gelgel, Tajen mulai sering diadakan di depan Pura Goa Lawah dan sudah menjadi tradisi yang mendarah daging oleh masyarakat kala itu. Sebab, sabung ayam bukan hanya permainan adu ayam saja, melainkan sudah menjadi ritual keagamaan.

Seiring berjalannya waktu permainan Tajen semakin berkembang pesat. Bahkan pada era kemerdekaan sebelum tahun 1980-an, pihak penyelenggara Tajen menggunakan kesempatan tersebut untuk menggalang dana guna pembangunan desa, sehingga permainan Tajen perlu mendapat izin dari pihak berwenang.

Makna Kegiatan Tajen

Dijelaskan dalam e-Jurnal berjudul Hukum Adat Perjudian yang Mempengaruhi Keadaan Sosial di Bali oleh Rendi Apriyansah, istilah Tajen berasal dari kata taji yang artinya susuk pada kaki ayam. Dalam bahasa Bali, kata taji sendiri bermakna sesuatu yang runcing, sehingga bisa diartikan taji sebagai suatu hal yang tajam.

Dari istilah tersebut, maka ayam-ayam yang ikut dalam sabung ayam harus memiliki taji agar bisa mengalahkan lawannya. Selain itu, Tajen tak hanya sekadar permainan adu ayam saja namun juga dijadikan sebagai sarana untuk upacara keagamaan.

Dalam budaya Bali, Tajen digolongkan menjadi tiga jenis yaitu Tabuh Rah, Tajen Terang, dan Tajen Branangan. Biar nggak bingung, simak penjelasan singkatnya di bawah ini:

- Tabuh Rah

Tabuh Rah adalah sabung ayam yang dilakukan untuk upacara agama Hindu di Bali yaitu Bhuta Yadnya, di mana sabung ayam ini digunakan sebagai sarana untuk mengeluarkan darah ayam. Kemudian darah tersebut diberikan kepada Bhuta Kala dalam bentuk sesajen agar mereka tidak mengganggu manusia lagi.

Sebagai informasi, seluruh elemen masyarakat beragama Hindu di Bali terlibat dalam Tabuh Rah. Jadi, dalam proses Tabuh Rah tidak ada unsur perjudian karena merupakan upacara keagamaan, lalu ayam yang digunakan untuk Tajen hanya sebanyak tiga ekor saja.

- Tajen Terang

Tajen Terang adalah sabung ayam yang dilakukan untuk kepentingan mencari dana dan pembangunan desa di Bali. Berbeda dari Tabuh Rah yang termasuk dalam ritual keagamaan, Tajen Terang sudah terdapat unsur perjudian di dalamnya.

Akan tetapi, praktek perjudian mulai dikesampingkan karena Tajen Terang dilaksanakan untuk menambah dana desa. Selain itu, sabung ayam ini juga sudah mendapatkan izin dari pihak berwenang dan perangkat desa, jadi Tajen tidak dianggap ilegal.

- Tajen Branangan

Tajen Branangan adalah sabung ayam yang dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi dan lokasinya sengaja dibuat jauh dari desa, sehingga tidak dapat diawasi oleh aparat berwenang. Tajen Branangan terdapat unsur perjudian yang kental dan tidak mendapatkan izin dari perangkat desa serta pihak berwenang.

Meski mirip-mirip dengan Tajen Terang, namun ada yang membedakan dengan Tajen Branangan. Selain soal perizinan, dalam Tajen Terang nilai taruhan yang dilakukan oleh bobotoh (orang yang melakukan judi sabung ayam) cukup kecil, yakni hanya mencapai ratusan ribu saja.

Lain halnya dengan para bobotoh yang melakukan judi dalam Tajen Branangan, nilai taruhannya bisa mencapai jutaan bahkan ratusan juta. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu sudah jarang ditemukan masyarakat yang melakukan Tajen Branangan karena nilai taruhannya yang besar. Kini, banyak masyarakat Bali yang beralih ke Tajen Terang karena dianggap lebih aman.

Perbedaaan Tajen dan Tabuh Rah

Masih banyak masyarakat yang salah kaprah tentang Tajen dan Tabuh Rah. Sejumlah masyarakat menganggap kalau Tabuh Rah termasuk dalam Tajen yang di dalamnya terdapat praktek perjudian.

Dijelaskan dalam buku Politik Kriminal dalam Penanggulangan Tajen (Sabungan Ayam) di Bali oleh I Ketut Mertha, Tabuh Rah merupakan upacara ritual Bhuta Yadnya dalam masyarakat Hindu di Bali, di mana darah ayam yang menetes ke bumi disimbolkan sebagai permohonan umat manusia kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari marabahaya.

Sedikit informasi, kata Tabuh Rah merupakan rangkaian dua buah kata yang memiliki satu pengertian. Istilah tabuh berasal dari kata tawur yang berarti bayar, sedangkan rah berasal dari kata darah. Bila kedua kata tersebut digabung, maka artinya pembayaran dengan darah yang dilakukan dengan cara menaburkan darah pada tempat-tempat tertentu, misalnya di Pura.

Parisada Hindu Dharma dan Institut Hindu Dharma pernah menyelenggarakan seminar pada tahun 1976. Saat itu, keduanya berhasil merumuskan beberapa kesimpulan dari Tabuh Rah yakni sebagai berikut:

  1. Tabuh Rah adalah taburan darah binatang korban yang dilaksanakan dalam rangkaian upacara agama
  2. Sumber penggunaan Tabuh Rah pada Panca Yadnya
  3. Dasar penggunaan Tabuh Rah tercantum dalam Prasasti Sukawan A.I 804 Caka, Prasasti Batur Abang 933 Caka, dan Prasasti Batuan 944 Caka
  4. Fungsi Tabuh Rah adalah runtutan atau rangkaian dari upacara agama Yadnya
  5. Tabuh Rah berwujud taburan darah binatang korban
  6. Jenis-jenis binatang yang digunakan untuk Tabuh Rah yaitu ayam, itik, kerbau, babi, dan lain-lain
  7. Penaburan darah dilaksanakan dengan "nyembelih" (perang satha) telung perahatan, dilengkapi dengan adu-aduan kemiri, telor, kelapa, beserta upakaranya
  8. Diadakan pada tempat dan saat upacara berlangsung oleh Sang Jayamana
  9. Diadakan dengan perangsatha disertakan toh dedemping (taruhan pendamping) yang maksudnya sebagai pernyataan atau perwujudan dari keikhlasan Sang Jayamana yang sedang melaksanakan upacara Yadnya dan bukan bermotif perjudian
  10. Adu ayam yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak perangsatha dan bukan juga termasuk rangkaian upacara Yadnya
  11. Pelaksanaan Tabuh Rah tidak perlu meminta izin kepada pihak berwenang.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Tajen memiliki unsur perjudian di dalamnya. Dalam budaya Bali, Tajen terbagi menjadi dua jenis yakni Tajen Terang dan Tajen Branangan. Yang jadi pembeda adalah, Tajen Terang sudah mendapat izin dari pihak berwenang sementara Tajen Branangan tidak.

Nah itu dia detikers penjelasan mengenai Tajen beserta sejarah singkat, makna kegiatannya, dan perbedaan antara Tajen dengan Tabuh Rah. Semoga artikel ini dapat membantu detikers dalam mempelajari kebudayaan masyarakat Bali, terutama soal Tajen atau sabung ayam.




(ilf/fds)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads