Bali tidak hanya menawarkan keindahan alam serta wisata kuliner yang lezat, namun juga memiliki budaya yang kental dengan agama Hindu. Maka jangan heran, saat berkunjung ke pulau Dewata detikers dapat melihat sejumlah upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat setempat.
Dalam upacara adat, terdapat salah satu ritual yang bernama segehan. Bila dilihat, segehan memiliki kombinasi warna yang cerah dan terlihat cantik, namun di balik itu semua terdapat makna yang bernilai sakral dan magis oleh masyarakat Bali.
Lantas, apa sih segehan panca warna itu? Lalu apa makna di dalam ritual segehan? Simak penjelasannya secara lengkap dalam artikel berikut ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa itu Segehan Panca Warna?
Dijelaskan dalam e-Jurnal berjudul Estetika Hindu pada Segehan Manca Warna oleh Ida Ayu Tary Puspa dkk, segehan merupakan bentuk upakara, yakni Bhuta Yajna yang ditunjukkan kepada para Bhuta Kala beserta para pengikutnya untuk menghilangkan kekuatan jahat, sehingga dapat menciptakan hubungan yang harmonis dan serasi antara sesama manusia ciptaan Tuhan.
Struktur segehan memiliki lima warna utama. Pemberian warna tersebut juga tidak boleh sembarangan detikers, sebab terdapat makna yang bernilai sakral dan magis di dalamnya.
Kata segehan sendiri berasal dari kata sega yang berarti nasi. Jadi, dalam ritual tersebut segehan biasanya dihaturkan di bawah sebagai blabaran yang berwujud nasi dengan lima warna berbeda.
Dijelaskan dalam buku Upakara Bhuta Yajna oleh I Gusti Agung Mas Putra (1984), ada makna tersendiri dibalik lima warna dalam segehan panca warna, lalu penempatan setiap sega juga tak bisa sembarangan.
Berikut ini makna dari lima warna dalam segehan panca warna:
- Sang Kursika berwarna putih, kemudian menjadi Bhuta Dengen atau disebut Bhuta Janggitan berwujud Yaksa dan bertempat di arah timur.
- Sang Gargha berwarna merah, kemudian menjadi Bhuta Abang yang disebut juga sang Bhuta Langkir berwujud Mong yang ditempatkan di arah selatan.
- Sang Metri berwarna kuning, menjadi Bhuta Kuning atau disebut juga Bhuta Lembukaniya yang berwujud ular atau naga bertempat di arah barat
- Sang Kurusiya berwarna hitam, menjadi Bhuta Ireng yang disebut juga Sang Bhuta Taruna berwujud buaya bertempat di arah utara.
- Sang Pretanjala berwarna Brumbun (Viswa-Warna) kemudian menjadi Bhuta Manca Warna yang disebut juga Sang Bhuta Tiga Sakti bertempat di arah tengah.
Kepada Siapa Segehan Panca Warna Dihaturkan?
Dijelaskan dalam e-Jurnal berjudul Estetika Hindu pada Segehan Manca Warna oleh Ida Ayu Tary Puspa dkk, segehan ini dihaturkan kepada Kala Buchara atau Buchari (Bhuta Kala), fungsinya agar tidak mengganggu manusia. Dalam penyajiannya, segahan panca warna diletakan di bawah, sudut-sudut natar Merajan/Pura, halaman rumah, gerbang masuk rumah, dan bisa juga di perempatan jalan.
Apa Saja Isi Segehan Panca Warna?
Sebagai salah satu wujud ritual dalam adat Bali, segehan memiliki sejumlah isi mulai dari lauk, minuman, api, dan canang. Dijelaskan dalam e-Jurnal berjudul Estetika Hindu pada Segehan Manca Warna oleh Ida Ayu Tary Puspa dkk, berikut isi segehan panca warna:
1. Lauk
Bawang merah, jahe, dan jeroan mentah adalah lauk yang selalu menyertai dalam ritual segehan. Bawang merah yang memiliki bau dan rasa sangat tajam, jahe dengan aroma sepat dan pahit, serta jeroan mentah dipercaya dalam masyarakat Hindu di Bali adalah kesukaan Bhuta Kala.
Bawang merah juga digunakan oleh masyarakat setempat untuk menangkal leyak dengan cara dioleskan ke ubun-ubun bayi. Cara ini dilakukan agar leyak tidak mengganggu si bayi karena teralihkan oleh bau bawang merah yang tajam.
Untuk menolak bahaya, bawang merah juga bisa dioleskan di sejumlah tempat maupun di tubuh manusia, seperti di badan orang dewasa, di atas pintu kamar, serta di sebelah kiri dan kanan pintu rumah.
2. Minuman
Berbagai jenis minuman seperti arak, berem air tape, air, tuak nira, dan darah adalah pelengkap segehan yang dikenal dengan sebutan tetabuhan. Sebagai informasi, kata tetabuhan berasal dari kata tabuh yang berarti tabuh, hal itu sesuai dengan cara persembahan minuman tersebut dengan cara disiramkan pada segehan.
Dalam kepercayaan masyarakat Hindu di Bali, bhuta kala dianggap sebagai sosok yang mengerikan dan sering mabuk-mabukan. Berdasarkan keyakinan tersebut, masyarakat perlu memanjakannya dengan berbagai minuman keras yang memabukkan. Dengan minuman tersebut diharapkan para bhuta kala sudah merasa puas dan tidak mengganggu manusia lagi.
3. Api
Api dalam keyakinan umat Hindu memiliki peranan dan makna yang sangat penting. Dalam hubungannya dengan kegiatan ritual, api dapat berwujud dupa dan api takep, yakni api yang dibuat dalam dua buah sabut kelapa.
Dupa atau api yang digunakan dalam ritual ini mengandung makna sebagai lambang Dewa Brahma, sebagai saksi atas ritual yang dilakukan. Asap yang membumbung ke udara diyakini sebagai penghantar ritual kepada para dewa dan bhuta kula.
4. Canang
Kata canang berasal dari bahasa Jawa kuno yang artinya sirih. Dalam ritual ini, sirih dilengkapi dengan kapur dan pinang (kemudian disebut sebagai porosan) adalah unsur utama dari canang. Apabila sebuah canang tidak berisi porosan maka dianggap belum bernilai keagamaan.
Porosan adalah lambang Tuhan sebagai Tri Murti. Sementara pinang yang berwarna merah adalah lambang Dewa Brahma sebagai pencipta, lalu sirih yang berwarna hijau adalah lambang Dewa Wisnu sebagai pemelihara, dan kapur berwarna putih adalah lambang Dewa Siwa sebagai pemusnah.
Doa Saat Mengaturkan Segehan Panca Warna
Adapun doa yang harus dipanjatkan saat menghaturkan segehan panca warna. Doa tersebut yakni sebagai berikut:
Om buktiantu durga katara, buktiantu kalamewaca, bukti antu bhuta butangaii
Artinya: Oh hyang widhi, hamba menyuguhkan sesajen kepada durga katara, kepada kalamawaca, dan kepada bhuga bhutangah
Nah itu dia detikers penjelasan mengenai segehan panca warna beserta makna dan juga doanya. Semoga artikel ini dapat membantu detikers dalam memahami agama Hindu di Bali.
(ilf/row)