Umat Hindu di Bali tidak terlepas dari berbagai ritual dengan aneka sarana upakara seperti banten (sejenis sesajen). Orang Bali mengenal banyak macam banten dengan filosofi serta fungsinya masing-masing.
Banten sebagai sarana upakara disebutkan dalam Lontar Yajna Prakrti: "Sahananing Bebanten Pinaka Raganta Tuwi, Pinaka Warna Rupaning Ida Bhattara, Pinaka anda Bhuvana". Artinya: semua jenis banten (upakara) merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Sang Hyang Widhi dan sebagai lambang alam semesta atau Bhuana Agung.
Sementara dalam Lontar Tegesing Sarwa Banten juga disebutkan: "Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang". Artinya: banten tiada lain merupakan buah pemikiran yang lengkap dan bersih.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu banten yang paling sering digunakan oleh umat Hindu di Bali adalah banten pejati.
Dirangkum dari berbagai sumber, pejati berasal dari kata jati yang dalam bahasa Bali berarti sungguh-sungguh. Kata 'jati' mendapat awalan 'pa' sehingga kata pejati dimaknai sebagai wujud kesungguhan seseorang.
Pejati menjadi sarana mengungkapkan rasa kesungguhan hati ke hadapan Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya ketika hendak melaksanakan upacara tertentu.
Dilansir dari laman smpdwijendra.sch.id, banten pejati dikategorikan sebagai banten pokok yang paling sering dipergunakan umat Hindu di Bali ketika melaksanakan Panca Yadnya.
Misalnya ketika pertama kali masuk dan sembahyang di sebuah pura, biasanya orang tersebut menghaturkan pejati.
Demikian pula jika seseorang memohon jasa pemangku atau sulinggih, kemudian "meluasang" kepada seorang balian/seliran atau untuk melengkapi upakara. Sebagian masyarakat Bali kerap menyebut banten pejati sebagai "Banten Peras Daksina".
Sementara itu, dikutip dari bali.kemenag.go.id, banten pejati dilengkapi dengan unsur-unsur seperti daksina, banten peras, banten ajuman/soda, tipat kelanan, penyeneng/tehenan/pabuat, pesucian, dan segehan. (*)
(iws/iws)