Malapetaka Muncul jika Warga Basang Tamiang Badung Tak Buat Gerabah

Malapetaka Muncul jika Warga Basang Tamiang Badung Tak Buat Gerabah

Agus Eka - detikBali
Sabtu, 16 Apr 2022 21:01 WIB
Coblong tanah liat dibuat perajin gerabah di Desa Kapal, Badung, Bali, untuk kelengkapan sarana upacara.
Coblong tanah liat dibuat perajin gerabah di Desa Kapal, Badung, Bali, untuk kelengkapan sarana upacara. (Foto: Agus Eka)
Badung -

Ni Nyoman Sudanti sangat telaten membentuk tanah liat hingga menjadi coblong menggunakan mesin putar.

Warga Banjar Basang Tamiang, Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, Badung, Bali, itu sudah membuat delapan lebih coblong sejak pagi, Sabtu, 16 April 2022.

Sudanti adalah satu dari sekian perajin gerabah tanah liat di Desa Kapal. Khususnya di Lingkungan Basang Tamiang.
Warga setempat ternyata sudah melakoni pekerjaan itu sejak tahun 1180-an.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tidak mengherankan jika terdapat perajin gerabah di masing-masing keluarga di Basang Tamiang.

Kewajiban membuat gerabah ini ada kaitannya dengan keyakinan warga setempat. Yakni 192 kepala keluarga (KK) di Banjar itu wajib mempertahankan tradisi membuat gerabah berbahan tanah liat. Konon akan ada malapetaka jika warga melanggar.

ADVERTISEMENT

"Tidak ada hukum sosial jika kewajiban itu dilanggar warga. Namun warga percaya, kesukaran hidup akan mendera. Misalnya didera penyakit. Banyak peristiwa diluar nalar yang akan terjadi," ujar Bandesa Adat Kapal, I Ketut Suardana.

Suardana menuturkan, tradisi membuat gerabah berawal dari kedatangan Sri Aji Jaya Pangus bersama pengikutnya dari Cina ke Basang Tamiang.

Kala itu, warga setempat mulai belajar membuat gerabah dari orang-orang Cina.

Selanjutnya, Banjar Basang Tamiang juga menjadi sentra kerajinan gerabah di masa lampau. Satu per satu warga berjualan gerabah. Tradisi itu lantas bertahan sampai sekarang.

Sebagai penghormatan dan wujud syukur atas rezeki yang diperoleh, warga kemudian membangun sebuah palinggih atau bangunan suci bernama Ibu Pertiwi.

Warga akan gelar upacara khusus di Pura Bangun Sakti setiap Buda Wage Langkir, enam bulan sekali.

"Ini adalah wujud syukur kami kepadaNya. Sebagai roh, sebagai simbol sumber energi bagi warga kami melakoni pekerjaan sebagai perajin gerabah. Sebab sebelum tahun 1968, kejadian warga tidak pernah mendapat hasil dari pekerjaan ini," jelas Suardana.

Menurutnya, bukti kedatangan kaum Cina ke Desa Kapal bisa dilihat dari pengaruh motif Tiongkok yang diadopsi pada gerabah khas Basang Tamiang.

Hanya bahan bakunya tanah liat. Ada pula catatan kuno terkait peristiwa itu, tersimpan di Pura Bangun Sakti.

Para perajin gerabah mulai mengembangkan pola dan teknik baru. Berkat pembinaan dari Departemen Perindustrian sekitar tahun 1981.

Selain gerabah, perajin juga produksi alat upacara seperti jun pere, coblong, jun tandeg, keklintingan, lanjar, dan celengan.




(kws/kws)

Hide Ads