Pemberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen hanya untuk barang mewah ternyata juga berdampak bagi usaha boga. Sebab, kebijakan itu menyebabkan kenaikan bahan baku di sejumlah distributor.
"Walau seperti itu (PPN 12 persen hanya itu barang mewah), kami juga akan terdampak," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Jasa Boga Indonesia (APJI) NTB, Wagini, di Mataram, Senin (6/1/2025).
Para pengusaha boga kini tengah memikirkan cara untuk menyiasati usaha mereka dengan adanya kenaikan harga bahan baku tersebut. Sebab, harga dalam brosur katering sudah ditetapkan sesuai dengan kebutuhan konsumen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Paket wedding sampai event itu tidak bisa kami naikkan (harga) paketannya, pasti akan butuh waktu juga," jelas Wagini.
Para pengusaha boga kabarnya lebih memilih untuk tidak menaikkan harga sementara demi menjaga usahanya tetap berjalan. Hal itu dilakukan sambil mengikuti perkembangan selanjutnya.
"Karena menaikkan (harga) tidak mungkin buat paketan yang sudah kami punya dan gaji karyawan juga tidak akan menurunkannya. Bahasanya kami mengalah, pelan-pelan sambil memikirkan teknisnya supaya sama-sama jalan," terang Wagini.
Wagini mengungkapkan kenaikan PPN menjadi 12 persen cukup memberatkan pelaku kuliner. Seharusnya, jelas Wagini, pemerintah memilah pajak yang harus dinaikkan. Meski begitu, APJI NTB memilih tetap menyikapi kebijakan PPN ini dengan positif.
"Pengusaha-pengusaha kelas besar dan barang-barang mewah itu tidak apa-apa karena mereka memang wajib ada imbal balik ke pemerintah. Mereka orang-orang kaya mampu beli apa pun, itu yang harus di dinaikan PPN-nya," jelas Wagini.
"Kalau makanan, sepertinya masih keberatan, dampaknya di harga bahan-bahan baku. Penunjang yang akan duluan menaikkan harga, dan kami harus memutar otak untuk tetap eksis dan jalan," terang Wagini.
Sebelumnya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) NTB, Wahyudin, mengatakan pemberlakukan PPN 12 persen akan berpengaruh dari sisi daya beli masyarakat. Hanya saja, itu tidak banyak dikarenakan adanya kenaikan upah minimum provinsi (UMP).
"Pajak dinaikkan, tetapi upah juga dinaikkan, jadi sama saja. Tetapi kalau pendapatannya tetap, tetapi pajak naik, itu akan menurunkan daya beli kita," kata Wahyudin.
Kenaikan pajak dan UMP bersamaan ini, jelas Wahyudin, memungkinkan daya beli masyarakat masih cukup kuat. Apalagi di pemerintahan kepala negara saat ini yang memfokuskan pada swasembada pangan.
"Dengan adanya kenaikan itu (PPN), kan banyak ini uang yang masuk ke pemerintah, dan itu digulirkan dalam berbagai program membantu masyarakat nantinya. Dengan adanya bantuan itu, maka akan terangkat (daya beli) nanti walaupun dari segi pajak naik," terang Wahyudin.
(iws/gsp)