Sejumlah universitas terkemuka di Korea Selatan tak ragu menolak calon mahasiswa yang memiliki riwayat perundungan di sekolah, meskipun memiliki nilai akademik tinggi. Sebanyak 45 calon mahasiswa di enam kampus nasional tercatat terdampak kebijakan ini.
Dilansir detikEdu, langkah tersebut diambil untuk menekan pentingnya karakter calon mahasiswa di proses penerimaan universitas. Berbagai kampus ternama yang diketahui melakukan praktik ini adalah Seoul National University (SNU), Yungpook National University, Pusan University, Kangwoon University, dan Jeonbuk National University seperti yang dikutip dari Times of India dan Korea JoongAng Daily.
Di Korea Selatan, ada dua jalur untuk masuk perguruan tinggi. Jalur pertama merupakan penerimaan berdasarkan catatan sekolah dan wawancara.
Sedangkan jalur penerimaan kedua berdasarkan skor College Scholastic Ability Test (CSAT) atau Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) versi Indonesia. Mereka yang digagalkan kelulusannya lantaran catatan bullying ada di jalur ini.
Namun, apakah kebijakan di Korea Selatan ini juga ada di Indonesia?
Aturan Masih Dibahas di Indonesia
Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki aturan semacam yang diterapkan di Korea Selatan. Namun, pemerintah tengah membenahi aturan sejak jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian mencoba untuk menjabarkannya. Ketika ditanya mungkinkah aturan terkait bullying bisa sampai ditingkat seperti Korea Selatan, Hetifah mengiakan.
"Iya, kayaknya kita. Aturannya makanya lah lagi diperbaiki tuh untuk benar-benar melihat konteks saat ini. Ini nih situasinya bagaimana," tuturnya kepada wartawan usai acara Jalan Sehat #RukunSamaTeman di Halaman Kemenko Polkam Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Minggu (23/11/2025).
Aturan yang tengah diperbaiki dan disempurnakan di jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). Penyempurnaan aturan tersebut akan dihadirkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) baru.
Menurutnya aturan ini akan dibuat dengan melibatkan banyak pihak. Dari para ahli, guru bimbingan konseling, organisasi yang terkait, hingga pengalaman orang tua.
"Itu harus kita dengar, gitu. Supaya kita benar-benar tahu akar masalahnya di mana," katanya.
Dengan tegas Hetifah menyebutkan bila masalah perundungan Indonesia sudah masuk dalam kategori sangat serius. Hal tersebut kini sudah menjadi peringatan bagi semua pihak.
Hetifah setuju bila untuk menciptakan sekolah yang aman dan nyaman tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja. Namun juga anak, orang tua, guru, maupun masyarakat yang ada di sekitarnya.
Baik guru dan orang tua, menurutnya harus bisa lebih peduli pada kondisi anak, tak bisa cuek lagi. Seluruh aktivitas anak sebaiknya mendapat pantauan penuh dari orang tua dan guru.
"Sekarang enggak bisa cuek lagi, kita harus benar-benar tahu anak itu juga berkomunikasi dengan siapa, main gamenya-nya game-nya apa, teman-teman dekatnya siapa, dan supaya tadi terutama paparan radikalisme itu harus diwaspadai," tegasnya.
"Dan itu bukan semata-mata karena gim, tapi banyak cara-cara yang dibuat untuk penetrasi anak-anak kita. Nah, itu juga menjadi peringatan yang sangat serius," imbuhnya.
Sanksi Pelaku Kekerasan/Bullying di Korea Selatan
Diketahui sanksi bagi pelaku kekerasan di sekolah dibagi menjadi berbagai tingkatan. Dari permintaan maaf tertulis, pembatasan kontak dengan korban, melakukan pelayanan masyarakat, konseling, penangguhan atau skorsing, kembali ke kelas, diminta untuk berpindah sekolah, hingga pengusiran.
Setiap kampus di Korea Selatan memiliki ketentuan pengurangan poin berdasarkan tingkat keparahan pelanggaran. Di Yungpook National University pengurangan poin ditentukan sebagai: 10 poin untuk sanksi ringan, 50 untuk kasus sedang, dan 150 untuk pelanggaran paling serius.
Mulai tahun depan, semua universitas di Korea Selatan wajib mengurangi poin bagi calon mahasiswa yang memiliki catatan kekerasan/bullying di sekolah, apa pun jenis penerimaannya. Kebijakan ini muncul setelah kemarahan publik atas putra matan jaksa Chung Sun-sin.
Putra jaksa tersebut diketahui sudah sempat pindah sekolah karena kasus bullying. Tetapi, ia tetap diterima di SNU dengan hanya pengurangan dua poin pada skor CSAT-nya.
Baca selengkapnya di detikEdu
Simak Video "Video: Alasan Seseorang Jadi Pelaku Bullying dari Kacamata Psikolog"
(nor/nor)