Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, mempertanyakan kebijakan pemerintah yang menyita tanah telantar setelah dua tahun. Ia menyoroti soal kepastian regulasi dan urgensi agar kebijakan tersebut tidak dijalankan tanpa dasar hukum yang jelas.
"Supaya tanah ini dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Tapi aturannya ada nggak? Kan nggak bisa asal aja," kata Aria saat ditemui dalam acara bimtek DPR-DPRD PDIP di Denpasar, Rabu (30/7/2025).
Politikus PDIP asal Jawa Tengah itu menegaskan bahwa dirinya bukan menolak kebijakan tersebut, namun meminta agar pemerintah mengedepankan pendekatan yang bijak, terutama untuk tanah dengan luasan besar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nanti kita lihat hal yang bijaksana terutama tanah-tanah besar dulu. Tanah-tanah yang berapa hektare dikompromikan dulu," ujarnya.
Aria menyebut kebijakan itu perlu mendukung penguatan ketahanan pangan, namun harus tetap berada dalam koridor aturan.
"Komisi II akan mencermati keputusan itu dengan aturan yang ada seperti apa, dasarnya apa, tujuannya apa, melayani kepentingan siapa. Yang jelas tanah ini untuk rakyat," tambahnya.
Aturan Tanah Telantar
Sebelumnya, pemerintah menetapkan bahwa pemilik tanah wajib memanfaatkan dan memelihara lahannya agar tidak dikategorikan sebagai tanah telantar. Jika dibiarkan tanpa dimanfaatkan selama dua tahun, tanah tersebut bisa diambil alih oleh negara.
Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar. Dalam aturan itu, tanah telantar didefinisikan sebagai tanah yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara.
"Tanah-tanah telantar itu jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, tidak dipelihara, terhitung mulai 2 tahun sejak diterbitkannya hak. Nah itu akan diidentifikasi oleh negara," ujar Kepala Biro Humas dan Protokol Kementerian ATR/BPN, Harison Mocodompis, kepada detikProperti, Rabu (16/7/2025).
(dpw/dpw)