Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) telah mengeksekusi sekitar 20 persen dari 160 pengaduan pelanggaran kode etik advokat dalam setahun. Sebanyak 20 persen advokat bermasalah itu sudah diberhentikan secara tetap alias dipecat.
"Ya ada sekitar 20 persen dari semua pengaduan yang masuk sudah dipecat sebagai advokat," ujar Ketua Dewan Kehormatan Pusat Peradi, Adardam Achyar, di sela-sela penutupan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Peradi di Kelurahan Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Badung, Jumat (6/12/2024).
Adardam mengatakan, selain pemecatan, Peradi juga memberi sanksi berupa skorsing bagi advokat nakal. Setahun ini, dari 160 pengaduan yang masuk, setidaknya ada 20 persen advokat yang diskors.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk skorsing ada 20 persen, baik mereka advokat mantan petinggi penegak hukum dan yang bergelar guru besar. Jadi Peradi tidak pandang bulu," kata dia.
Adardam tak menegaskan bentuk pelanggaran yang dilakukan para pengacara itu. Ia hanya menekankan ada perilaku menyimpang advokat yang dinilai menjadi kerugian bagi organisasi maupun masyarakat pencari keadilan.
Adardam juga menyinggung ada kecenderungan sejumlah advokat yang justru menjadi 'soulmate' para aparat penegak hukum (APH) dalam menangani suatu perkara, misalnya suap.
Adardam menemukan ada sejumlah advokat yang telah dipecat, tetapi tetap bisa beracara di pengadilan. Hal itu terjadi karena yang bersangkutan masih memegang berita acara sumpah sebagai advokat.
"Kenapa orang yang sudah dipecat masih berpraktik? Dewan Kehormatan Peradi tidak punya kewenangan mencabut berita acara sumpah karena itu adalah produk pengadilan tinggi. Sekarang legalitas advokat berpraktik di persidangan sudah bergeser," sambung Adardam.
Adardam mengeklaim perkara yang masuk ke meja Dewan Kehormatan Peradi menurun. Hal itu, Adardam berujar, karena organisasi meningkatkan pengawasan daripada mendahulukan penindakan sehingga pelanggaran bisa dicegah dimulai sekecil apapun potensinya.
"Karena kami selalu meningkatkan pemahaman pelaksanaan kode etik. Sekarang mulai menurun masalah kode etik," jelas Adardam.
(iws/gsp)