Bali Masuk Daftar Tak Layak Dikunjungi, Pengelolaan Pariwisata Harus Diubah

Bali Masuk Daftar Tak Layak Dikunjungi, Pengelolaan Pariwisata Harus Diubah

Asti Azhari - detikBali
Selasa, 26 Nov 2024 06:55 WIB
Wisatawan mancanegara berjalan di dermaga setibanya di Pelabuhan Benoa, Denpasar, Bali, Kamis (11/4/2024). Kapal pesiar Pacific Explorer yang berlayar dari Fremantle, Australia tiba di Bali dengan membawa 2.434 wisatawan untuk mengunjungi sejumlah objek wisata. ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/nym.
Foto: Wisatawan mancanegara berjalan di dermaga setibanya di Pelabuhan Benoa, Denpasar, Bali, Kamis (11/4/2024). (ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo)
Denpasar -

Bali masuk dalam daftar 15 destinasi yang harus dihindari pada 2025 oleh Fodor's. Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) kemudian meminta agar paradigma pengelolaan pariwisata di Bali diubah agar dapat keluar dari daftar tersebut.

"Pemerintah kurang paham bahwa paradigma pariwisata saat ini sudah bergeser, termasuk perilaku pengunjung," kata Ketua Umum ICPI, Azril Azahari, Senin (25/11/2024) dilansir dari detikTravel.

Azril menjelaskan pengunjung saat ini lebih membutuhkan keikutsertaan (participatory approach) pada aktivitas pariwisata, dari yang sebelumnya lebih pada profit approach. Menurutnya, Organisasi Pariwisata Dunia (UN Tourism) sudah mengingatkan agar pariwisata harus berbasis pada komunitas lokal (community based) agar berkeberlanjutan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Azril, dampak yang harus dihitung dalam penerapan pariwisata bukan hanya dari sisi ekonomi, tetapi juga sosial-budaya dan ekosistem, baik lingkungan biotik, abiotik, dan manusia dengan budayanya. Dampak ekosistem itu perlu diperhitungkan di Bali karena sudah menjadi perhatian dunia.

"Kalau sudah berdampak pada ekosistem dan mempercepat perubahan iklim dengan ozonisasi dan dekarbonisasi, maka dunia akan makin kritis, apalagi sudah dimulai dengan munculnya krisis pangan, dan krisis energi yg mengarah pada krisis ekonomi," terang Azril.

ADVERTISEMENT

"Apalagi kita kurang atau mungkin belum memperhatikan pengaruh pengganda (multiplier effect), yaitu pengaruh langsung (direct effect) ditambah pengaruh tidak langsung (indirect effect) ditambah pengaruh ikutan (induced effect), dibagi dengan pengaruh total (total effect)," kata Azril.

Azril juga menyoroti pentingnya penghitungan daya tampung dan daya dukung fisik (physical carrying capacity) serta kajian time and motion study untuk memastikan pariwisata tidak melebihi kapasitas lingkungan Bali. Ia juga mengkritik kebijakan bebas visa yang dianggap memperparah tekanan ekosistem lokal, serta menyerukan perlunya zonasi wisata agar pengelolaan lebih terkendali.

Sebagai solusi, Azril merekomendasikan pendekatan community-based tourism (CBT) dan model nucleus estate smallholders (NES) atau perusahaan inti rakyat (PIR) yang telah terbukti meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.

"Kebijakan yang harus melibatkan masyarakat lokal sebagai pengelola atau pelaksana utama (sebagai plasmanya), sedangkan pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha swasta sebagai penggerak intinya (sebagai inti)," kata Azril.

Model berbasis investor yang sering diterapkan selama ini, menurut Azril, cenderung menyengsarakan masyarakat lokal dan hanya menguntungkan segelintir pihak. Ia juga menekankan pentingnya menghitung multiplier effect, yakni dampak langsung, tidak langsung.

"Artinya apakah kita sudah memahami sudah berapa jauh dampak dan pengaruhnya dari sektor pariwisata ini, mungkin bukan lagi positif, bahkan sudah mengarah negatif," jelas Azril.

Artikel ini telah tayang di detikTravel. Baca selengkapnya di sini!




(iws/dpw)

Hide Ads