Donald Trump kembali memenangkan perebutan kursi Gedung Putih melawan Kamala Harris pada Pilpres Amerika Serikat (AS). Iran dan Hizbullah menegaskan sudah siap melawan bahkan berperang melawan Israel yang didukung Trump.
Pemimpin Hizbullah Naim Qassem menyebut puluhan ribu pasukannya siap melawan Israel. Dia mengatakan hasil Pemilu Amerika Serikat (AS) tidak akan berpengaruh pada perang di Lebanon.
"Kami memiliki puluhan ribu pejuang perlawanan terlatih yang siap berperang," kata Naim Qassem dalam pidato di televisi, dikutip dari detikNews, Kamis (7/11/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pidato Naim Qassem ini disampaikan setelah kemenangan Donald Trump dalam Pemilu AS diumumkan. Menurutnya, hasil pertarungan Trump dan Wakil Presiden AS Kamala Harris tidak akan berdampak kemungkinan gencatan senjata di Lebanon.
"Kami tidak mendasarkan harapan kami untuk menghentikan agresi pada perkembangan politik," ucap Naim Qassem.
"Apakah Harris menang atau Trump menang, itu tidak ada artinya bagi kami," tambahnya.
Iran Siap Konfrontasi
Otoritas Iran menyebut pilpres Amerika Serikat (AS) tidak menjadi urusan negaranya dan siapa pun pemenangnya tidak akan memicu perbedaan signifikan dalam kebijakan Teheran. Penegasan ini disampaikan setelah mantan Presiden Donald Trump memenangi pilpres AS.
Wakil Panglima Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) Ali Fadavi, seperti dilansir Reuters dan Al Arabiya, justru menegaskan Teheran siap untuk melakukan konfrontasi dengan Israel, dan tidak mengesampingkan serangan pendahuluan oleh AS dan Israel.
"Pemilu AS sebenarnya bukan urusan kami. Kebijakan kami stabil dan tidak berubah berdasarkan individu. Kami telah membuat prediksi yang diperlukan sebelumnya dan tidak akan ada perubahan dalam kehidupan masyarakat," ucap Mohajerani.
Para pejabat Arab dan negara-negara Barat telah mengatakan bahwa Trump mungkin akan menerapkan kembali "kebijakan tekanan maksimum" melalui peningkatan sanksi terhadap industri minyak Iran dan memberdayakan Israel untuk menyerang situs nuklir Teheran, bahkan melakukan "pembunuhan yang ditargetkan".
Saat pertama menjabat Presiden AS beberapa tahun lalu, Trump menerapkan kembali sanksi-sanksi kepada Iran setelah dia menarik AS dari kesepakatan nuklir tahun 2015 antara Teheran dengan negara-negara kekuatan dunia, demi membatasi program nuklir Iran dengan imbalan keuntungan ekonomi.
Diberlakukannya kembali sanksi AS tahun 2018 lalu memukul ekspor minyak Iran, memangkas pendapatan pemerintah dan memaksa Teheran mengambil langkah-langkah tidak populer seperti menaikkan pajak dan menjalankan defisit anggaran yang besar -- kebijakan yang membuat inflasi tahunan mendekati 40 persen.
Mata uang nasional Iran, menurut situs pelacakan mata uang Iran, Bonbast.com, telah melemah karena prospek kepresidenan Trump, bahkan mencapai titik terendah sepanjang masa yaitu 700.000 Rial Iran terhadap dolar AS di pasar bebas.
Simak Video 'Iran Tak Khawatir dengan Kemenangan Trump: Apa Bedanya?':
(dpw/gsp)