Forum Perbekel Terdampak Tol Gilimanuk-Mengwi menyampaikan surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Mereka menuntut kejelasan proyek yang sampai sekarang masih menggantung. Surat tersebut disampaikan dalam aksi damai di titik lokasi proyek Jalan Antosari-Pupuan, Desa Antosari, Kecamatan Selemadeg Barat, Tabanan, Kamis (8/8/2024).
"Sehubungan dengan permasalahan tersebut, kami Forum Perbekel Terdampak Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi dan atas nama masyarakat terdampak jalan tol Gilimanuk-Mengwi memohon dengan hormat bantuan Bapak Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir H Joko Widodo untuk memberi kepastian pelaksanaan pengadaan tanah tol jalan Gilimanuk-Mengwi terutama kepastian pelaksanaan pengadaan tanah untuk masyarakat terdampak sesuai dengan pernyataan Menteri PUPR di Media," kata Ketua Forum Perbekel Terdampak Jalan Tol Gilimanuk-Mengwi Seluruh Bali saat membacakan surat.
"Bahwa pelaksanaan fisik jalan tol Gilimanuk-Mengwi dilaksanakan mulai September tahun 2024, akan tetapi sampai saat ini pelaksanaannya belum ada kejelasan. Demikian surat ini kami sampaikan dengan penuh harapan, kiranya Bapak Presiden berkenan," sambung Arnawa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mewakili masyarakat terdampak ingin meminta Jokowi segera memberikan mandat dan kebijakan kepastian untuk mempercepat proses pelaksanaan pengadaan tanah. Ia tidak ingin masyarakat terus digantung dan cemas karena hal yang belum pasti.
Menurut Arnawa, masyarakat resah karena lamanya proyek pembangunan jalan tol. Apalagi, sejak Surat Keputusan (SK) Penetapan Lokasi (Penlok) Nomor 243/01-A/HK/2022 diterbitkan pada 7 Maret 2022. Masyarakat yang ingin sertifikat tanahnya digadaikan untuk keperluan keluarga atau usaha akhirnya mendapatkan kesulitan.
Sebelumnya, Arnawa melanjutkan, pernah ada mediasi yang berujung pada kesimpulan uang ganti rugi (UGR) untuk warga akan dianggarkan menggunakan APBD. Namun, sampai sekarang kepastiannya belum ada.
"Kami sebetulnya tidak ingin berandai-andai. Memang waktunya mepet. Kalau kemungkinan terburuk program itu tidak jalan, mudah-mudahan ini sampai ke Pak Jokowi pada saat itu harus ada kepastian, iya atau tidak," jelas Arnawa.
Sementara itu, salah seorang warga terdampak, I Nyoman Loster, mengaku sulit untuk melakukan peremajaan lahan kebunnya karena khawatir merugi jika sewaktu-waktu ada pembebasan lahan.
"Nggih sulit untuk peremajaan karena masalah ini ditambah modal besar," terangnya.
Loster mengaku punya tiga sertifikat tanah. Selama ini, tanahnya itu dimanfaatkan untuk berkebun. Dia dalam posisi dilematis untuk menggarap lahannya itu, karena khawatir rugi besar jika sewaktu-waktu proyek berjalan.
"Kemungkinan 70-75 are. (Sementara) untuk kebun masih ada durian, manggis, dan kelapa," tandas Loster.
(hsa/gsp)