Biografi dan Sepak Terjang Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia

Biografi dan Sepak Terjang Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia

Husna Putri Maharani - detikBali
Rabu, 01 Mei 2024 22:38 WIB
Hari Pendidikan Nasional diperingati setiap tahun bertepatan dengan hari lahir Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia. Yuk, simak serba-serbi Hardiknas 2023!
Ki Hajar Dewantara. Foto: Fuad Hasim/detikcom
Denpasar -

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara adalah sosok yang sangat berjasa dalam perkembangan pendidikan Indonesia. Untuk menghormati kontribusinya yang besar, tanggal 2 Mei yang merupakan tanggal kelahirannya dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Meskipun begitu, banyak di antara masyarakat Indonesia yang belum mengenal secara mendalam profil dari Ki Hajar Dewantara. Padahal, peran dan pencapaian beliau sangat signifikan dalam sejarah pendidikan di tanah air.

Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk memahami dengan lebih baik mengenai sosok Ki Hajar Dewantara, mengingat perannya yang tak tergantikan dalam memajukan sistem pendidikan Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berikut ini adalah informasi mengenai biografi hingga apa yang telah dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara selama hidupnya yang telah dirangkum oleh detikBali dari berbagai sumber.

Biografi Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara dilahirkan di Yogyakarta pada 2 Mei 1889, dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Ayahnya adalah Gusti Pangeran Haryo Soerjaningrat, dan ia adalah cucu dari Sri Paku Alam III. Berdasarkan garis keturunan, Ki Hajar Dewantara berasal dari keluarga bangsawan Pakualaman.

ADVERTISEMENT

Sebagai seorang bangsawan Jawa, Ki Hajar Dewantara mengikuti pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), sebuah sekolah rendah untuk anak-anak Eropa. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, ia diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen), yang dikenal sebagai Sekolah Dokter Jawa. Namun, karena kondisi kesehatannya tidak memungkinkan, Ki Hajar Dewantara tidak dapat menamatkan pendidikan di sekolah tersebut.

Sepak Terjang Ki Hajar Dewantara

1. Menjadi Jurnalis

Setelah meninggalkan STOVIA, Ki Hajar Dewantara bekerja sebagai analis di laboratorium Pabrik Gula Kalibagor, Banyumas. Namun, setelah setahun, ia meninggalkan pekerjaannya karena kesempatan belajar secara cuma-cuma dicabut.

Selanjutnya, ia menjadi pembantu apoteker di Apotek Rathkamp, Malioboro Yogyakarta pada tahun 1911, sambil juga menjalani profesi sebagai wartawan untuk surat kabar "Sedyotomo" (dalam Bahasa Jawa), "Midden Java" (dalam Bahasa Belanda) di Yogyakarta, dan "De Express" di Bandung.

Tulisan-tulisannya membuat Ki Hajar Dewantara dan kedua rekannya, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Dr. E.F.E. Douwes Dekker, ditangkap dan ditahan. Pada 18 Agustus 1913, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Keputusan N0. 2a yang membuang Ki Hajar Dewantara ke Bangka, Dr. Cipto Mangunkusumo ke Banda Neira, dan Dr. E.F.E. Douwes Dekker ke Timor Kupang. Namun, mereka meminta agar dibuang ke Belanda, permintaan yang akhirnya dikabulkan.

Selama di pengasingan di Belanda, Ki Hajar Dewantara berusaha memajukan kaumnya, kaum pribumi. Dia berhasil memperoleh Europeesche Akte, sebuah ijazah pendidikan bergengsi di Belanda, yang membantu dalam mendirikan lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia. Di Belanda, dia juga mendapatkan pengaruh yang besar dalam mengembangkan sistem pendidikan sendiri.

2. Mendirikan Inische Partij

Bersama dengan Danudirdja Setyabudhi atau Douwes Dekker, dan Cipto Mangoenkoesoemo, Ki Hajar Dewantara berperan dalam pendirian Indische Partij pada 25 Desember 1912. Partai ini merupakan partai politik pertama yang memiliki semangat nasionalisme di Indonesia, dengan tujuan mencapai kemerdekaan bagi Indonesia. Namun, upaya mereka ditolak oleh Belanda karena dianggap dapat memicu semangat nasionalisme di kalangan rakyat.

Setelah pendaftaran status badan hukum Indische Partij ditolak, Ki Hajar Dewantara bersama-sama dengan rekan-rekannya membentuk Komite Boemipoetra pada November 1913. Komite ini bertindak sebagai komite alternatif dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa.

Komite Boemipoetra secara tegas mengkritik rencana pemerintah kolonial Belanda untuk merayakan seratus tahun kemerdekaan negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan mengambil uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.

Dalam tulisannya, seperti "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" (Satu untuk semua, tetapi semua untuk satu juga) dan "Als Ik Eens Nederlander Was" (Seandainya Aku Seorang Belanda), Ki Hajar Dewantara mengkritik rencana perayaan tersebut secara tajam.

Akibat dari tulisan "Seandainya Aku Seorang Belanda", pemerintah kolonial Belanda menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan berupa hukum interning (hukuman buang), yang merupakan penugasan tempat tinggal yang ditentukan bagi seseorang. Ki Hajar Dewantara kemudian dihukum buang ke Pulau Bangka.

3. Mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa

Setelah pulang dari pengasingan bersama rekan-rekannya, Ki Hajar Dewantara mendirikan National Onderwijs Instituut Taman Siswa (Taman Siswa) pada Juli 1922. Ini adalah lembaga pendidikan yang menawarkan kesempatan kepada para pribumi kelas bawah untuk mendapatkan pendidikan, sejajar dengan para priyayi dan orang Belanda.

Taman Siswa mengubah metode pengajaran kolonial dari sistem 'perintah dan sanksi' menjadi pendidikan yang sangat menekankan pada rasa kebangsaan, dengan tujuan menginspirasi peserta didik untuk mencintai tanah air dan berjuang untuk kemerdekaan.

Ki Hajar Dewantara menghadapi banyak rintangan dalam membangun Taman Siswa, termasuk upaya pembatasan dari pemerintah kolonial Belanda yang mengeluarkan ordonansi sekolah liar pada 1 Oktober 1932.

Meskipun berfokus pada bidang pendidikan, Ki Hajar Dewantara tetap produktif dalam menulis. Tema tulisannya bergeser dari politik ke pendidikan dan kebudayaan, dengan fokus pada semangat nasionalisme. Melalui tulisannya, Ki Hajar Dewantara memberikan dasar-dasar bagi pendidikan nasional di Indonesia.

Namun, kolonial Belanda berusaha melemahkan gerakan politik yang dipelopori oleh Taman Siswa dengan mengeluarkan Onderwijs Ordonantie (OO) 1932. Namun, tindakan tersebut mendapat penentangan keras dari media massa Indonesia dan berbagai organisasi politik.

Akibat tekanan tersebut, Gubernur Jenderal membatalkan OO 1932 pada 13 Februari 1933. Pada saat yang sama, Ki Hajar Dewantara juga diberi penghargaan oleh pemerintah Indonesia dengan berbagai jabatan, termasuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1950, gelar doktor honoris causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1959, dan diangkat sebagai pahlawan nasional pada tahun yang sama.

Sebagai menteri pendidikan pertama di Indonesia, Ki Hajar Dewantara telah melakukan banyak gerakan nasional yang membantu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Semua perjuangannya ini terdokumentasikan dalam buku "Ki Hadjar Dewantara: Putra Keraton Pahlawan Bangsa".

Artikel ini ditulis oleh Husna Putri Maharani peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(nor/nor)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads