Biografi RA Kartini, Sosok Pejuang Emansipasi Wanita di Indonesia

Biografi RA Kartini, Sosok Pejuang Emansipasi Wanita di Indonesia

Zheerlin Larantika Djati Kusuma - detikBali
Jumat, 19 Apr 2024 03:30 WIB
RA Kartini
RA Kartini. Foto: Arsip Nasional RI
Denpasar -

Raden Ajeng Kartini adalah sosok pejuang yang berjasa bagi Indonesia. 21 April diperingati menjadi Hari Kartini. Peringatan ini menjadi pengingat akan perjuangan RA Kartini, pahlawan nasional yang memperjuangkan kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam bidang pendidikan.

Lantas bagaimana biografi serta perjuangan RA Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita di Indonesia? Simak penjelasan berikut ini.

Biografi Singkat RA Kartini

RA KartiniRA Kartini Foto: Ilustrator: Edi Wahyono

Melansir dari laman SMP Negeri 9 Surabaya, Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau yang dikenal sebagai RA Kartini, lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. RA Kartini lahir dan besar di keluarga bangsawan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ayahnya yaitu Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, merupakan anak dari Ario Tjondronegoro IV yang merupakan seorang Bupati Jepara. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, bukan dari keluarga bangsawan melainkan keluarga biasa. Kartini merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri.

Mulanya, ayah Kartini adalah Wedana dari Mayon (sekarang disebut asisten bupati). Namun, karena adanya hukum kolonial Belanda pada saat itu yang mewajibkan bupati juga harus menikah dengan bangsawan, akhirnya ayah Kartini menikah dengan Raden Adjeng Woerjan. Raden Adjeng Woerdan merupakan keturunan Raja Madura.

ADVERTISEMENT

Sebagai seorang bangsawan, Kartini berhak mendapatkan pendidikan pada saat itu. Kartini bersekolah di Europese Lagere School (ELS). Ia belajar bahasa Belanda saat itu, namun kesempatan belajarnya hanya bisa bertahan sampai ia berumur 12 tahun, karena harus dipingit.

Latar Belakang Perjuangan Kartini

Mengutip Tashadi pada bukunya "RA Kartini" perjuangan Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita tidaklah mudah. Pada zaman sebelum kelahiran RA Kartini, kedudukan kaum wanita masih sangat terbelakang. Keadaan ini disebabkan adanya pandangan yang masih teguh terhadap tradisi atau adat, yang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan zaman.

Wanita saat itu hanya tahu bagaimana cara berbakti dan mengabdi pada suami. Bahkan sejak kecil, mereka dididik tentang bagaimana cara mengabdi pada kaum laki-laki, yaitu ayah, suami, dan saudara-saudaranya yang lebih tua. Dulu, ada pula anggapan bahwa wanita tak perlu mendapatkan pendidikan, karena derajat wanita dianggap lebih rendah daripada laki-laki pada saat itu.

Semakin lama, Kartini menyadari bahwa ada kekeliruan dalam susunan dan pandangan masyarakat di negerinya. Bahkan ia kerap mengalami bagaimana pahitnya kehidupan wanita bumiputra itu. Salah satu contohnya, yaitu ketika ia berada dalam masa pingitan, saat-saat di mana ia merasa seperti berada di penjara yang sangat membosankan.

Menurut Kartini, wanita harus bisa berjuang untuk mendapatkan martabat yang sejajar dengan kaum pria. Mulai dari sini, Kartini bercita-cita untuk dapat menaikkan derajat para wanita kala itu.

Perjuangan Kartini

RA Kartini dan suamiRA Kartini dan suami Foto: RA Kartini dan suami (Foto: Istimewa)

Perjuangan Kartini dalam dunia pendidikan erat kaitannya dengan emansipasi kaum wanita. Kartini mulai sering membaca buku-buku hingga koran Eropa tentang kemajuan berpikir perempuan eropa. Dari situlah, Kartini berkeinginan untuk memajukan perempuan pribumi saat itu.

Pada permulaan abad ke-20, di setiap kabupaten dan kecamatan hanya ada sekolah dasar tingkat dua. Sekolah itu hanya mengajarkan menulis, membaca, bahasa daerah, dan berhitung.

Tak puas dengan mata pelajaran di sekolah saat itu, ia akhirnya menghendaki agar mata pelajaran di sekolah bisa disempurnakan. Misalnya ditambah dengan mata pelajaran bahasa Melayu atau bahasa Indonesia dan Belanda. Usulannya ternyata ditolak oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Meski ditolak, Kartini tetap menuntut agar supaya Pemerintah Hindia Belanda segera mengubah politiknya dan mengadakan pembaruan yang dapat berguna bagi rakyat.

Pada akhirnya Kartini mendirikan sekolahnya sendiri, yaitu Sekolah Gadis. Sekolah Gadis mendapat banyak tanggapan positif dari masyarakat. Melalui Sekolah Gadis, Kartini mengajarkan cara membaca, menulis, kerajinan, dan memasak.

Sayangnya, Kartini meninggal di usia 25 tahun. Tepatnya, ia meninggal pada 17 September 1904 di Rembang, Jawa Tengah.

Kisah Kartini sebagai tokoh pejuang wanita tercatat pada bukunya yang berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang". Buku ini berisikan kumpulan surat yang ditulis oleh Kartini.

Kumpulan surat tersebut dibukukan oleh J.H. Abendanon, seorang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, dengan judul "Door Duisternis Tot Licht". Setelah Kartini wafat, Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat Kartini yang pernah dikirimkan kepada teman-temannya di Eropa.

Itulah biografi dan kisah perjuangan RA Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita. Penting bagi kita untuk selalu mengenang jasa dan perjuangan RA Kartini. Selamat Hari Kartini!

Artikel ini ditulis oleh Zheerlin Larantika Djati Kusuma, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(nor/nor)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads