Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Bali Dewa Made Indra mengungkapkan kasus stunting (balita kerdil atau gagal tumbuh) di Bali juga bisa terjadi pada anak orang kaya. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali bertekad terus menurunkan angka prevalensi stunting, meski saat ini anak gagal tumbuh di Bali jumlahnya paling rendah di Indonesia, yakni 7,2 persen.
"Karena prevalensi stunting bisa terjadi di keluarga yang miskin, bisa juga terjadi di keluarga yang tidak miskin. Kalau kami lihat Kabupaten Gianyar misalnya, ekonominya kan relatif banget, tapi di situ ada prevalensi stunting," ujar Indra di sela-sela Rapat Kerja Daerah (Rakerda) terkait penurunan stunting, di Denpasar, Kamis (28/3/2024).
Saat ini, angka prevalensi stunting rata-rata nasional sebesar 21,5 persen. Sekitar tiga kali lipat lebih besar dibandingkan Bali. Namun begitu, Indra menegaskan, Bali terus berupaya menekan angka stunting hingga menuju nol persen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami punya modal keyakinan bahwa dengan kerja sama kami bisa turunkan terus. Maka saya mengajak teman-teman semua ayo 7,2 itu kita turunkan lagi kalau perlu kita 0 kan," ujar Indra.
Dia kembali mengungkapkan penyebab stunting tidak selalu berkorelasi dengan kemiskinan ekstrem. Orang berkecukupan juga bisa terkena stunting apabila tidak teredukasi dengan baik.
Tidak menutup kemungkinan orang dari ekonomi baik, tapi faktor gizinya tidak mencukupi untuk tumbuh kembang bayi. Baik saat di dalam janin maupun saat sudah lahir.
"Mungkin konsumsi nutrisi kalorinya cukup, tapi totalitas nutrisinya tidak mencukupi untuk tumbuh kembang si bayi dan balita itu, karena itulah pentingnya edukasi," papar Indra.
Untuk diketahui, stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak usia di bawah lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang. Terutama pada periode seribu hari pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari janin hingga anak berusia 23 bulan.
(hsa/gsp)