Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Bali KH Abdul Aziz meminta masyarakat, termasuk warga Nahdliyin, menerima hasil Pemilu 2024 dengan legawa, siapapun pemenangnya.
Menurut Abdul Aziz, bersatu demi kepentingan dan memajukan Indonesia lebih penting ketimbang memikirkan pemilihan presiden (pilpres) yang baru saja usai.
"Tentunya, pilpres ini sudah selesai. Jadi, saya mengajak kepada segenap masyarakat, khususnya warga Nahdliyin untuk menghilangkan rasa perbedaan saat kampanye," ujar Abdul Aziz saat dihubungi detikBali, Rabu (14/2/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun demikian, dia meminta masyarakat saat ini agar bersabar. Sebab, hasil quick count atau hitung cepat Pemilu 2024 bukan menjadi penentu pemenang pemilu secara resmi. Sebab, harus menunggu hasil hitung resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Hasil quick count (paslon nomor urut 2) sampai 60 persen, harus kita terima. Saya kira itu pilihan. Jadi, kami ajak siapapun untuk menunggu hasil (penghitungan suara) dari Komisi Pemilihan Umum," kata Abdul Aziz.
Abdul Aziz memprediksi hasil penghitungan cepat dan oleh KPU tidak akan jauh beda. Untuk itu, masyarakat agar segera fokus pada tujuan masing-masing, tidak selalu membahas pilpres.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar I Nyoman Subanda meminta para pendukung paslon yang menang tidak larut dalam euforia berlebihan. Begitu pula dengan pihak yang kalah tidak perlu meluapkan kemarahan.
"Kalau misalnya menang, nggak usah terlalu bereuforia. Yang menang nggak usah mabuk-mabukan. Kemudian yang kalah jangan ngamuk. Legawa saja," kata Subanda kepada detikBali, Rabu.
Apapun hasil hitung cepat menjadi penting untuk membuka awal memajukan Indonesia. Subanda berharap semua elemen masyarakat bersatu untuk kepentingan bangsa.
"Sekarang, kita mulai untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa. Nggak ada menang kalah. Toh, yang kalah juga bersinergi dan kolaborasi seperti (era) Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto," kata Subanda.
Subanda menyadari hasil hitung cepat berpotensi memicu konflik antara yang menang dan kalah. Meski begitu, hal itu wajar dan bukan kali pertama sejak era mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Menurutnya, konflik itu menjadi kesempatan bagi KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan aparat penegak hukum untuk menunjukkan netralitas dan profesionalismenya.
"Yang penting netralitas TNI Polri dan penyelenggara (pemilu) harus diutamakan. Sehingga ada kepastian penegakan hukum di dalam demokrasi kita. Karena kita disorot dunia. Selain, kita sendiri juga harus menjadi social control yang baik," tutur Subanda.
(hsa/gsp)