Presiden Joko Widodo (Jokowi) melontarkan pernyataan kontroversial yang menyebut bahwa presiden dan menteri boleh kampanye dan memihak di Pilpres 2024. Pengamat politik menilai pernyataan Jokowi itu menandakan bahwa demokrasi di Indonesia mulai tak sehat.
"Artinya demokrasi yang menjadi tidak sehat," kata pengamat politik Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar I Nyoman Subanda kepada detikBali, Sabtu (27/1/2024).
Seharusnya, kata Subanda, Jokowi dan para menteri yang berlatar belakang dari partai politik harus menjadi contoh untuk menjaga demokrasi dan kepentingan publik. Sangat disayangkan mereka justru memperlihatkan sikap tak netral di pemilu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya di kabinet Jokowi, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Undiknas itu juga menyebut ketidaknetralan juga terjadi instansi TNI/Polri, meskipun tidak secara institusi.
"Itu yang saya maksud tidak sehat, akhirnya kan selama ini netralitas TNI, birokrasi, pejabat publik yang mengutamakan kepentingan publik tidak terjaga," ungkapnya.
"Saya menganggap kalau itu terjadi maka penurunan atau degradasi moral dari pejabat publik, siapapun itu," imbuhnya.
Dampak lainnya, citra Indonesia juga bisa dicap sebagai negara yang bukan demokrasi lagi oleh negara lain.
"Saya sendiri melihat sebenarnya dari dulu namanya politik berebut kekuasaan, strategi-strategi mengarah ke perebutan itu. Tapi etika, moral bangsa harus tetap terjaga, itu yang dilakukan negara-negara yang demokrasinya maju," jelas Subanda.
Padahal, Jokowi selama ini banyak diapresiasi oleh berbagai kalangan terkait kinerjanya. Tetapi, ketika akhir-akhir ini menunjukkan sinyal keberpihakan ke salah satu paslon capres, menurutnya itu mengubah citra Jokowi yang selama ini dibangun ke arah yang kurang baik.
"Saya termasuk awalnya skeptis, ragu, karena mengapresiasi kinerja itu. Tapi akhir-akhir ini ketika Gibran maju dan diawali dengan Mahkamah Konstitusi (MK) meloloskan, saya mulai kurang simpati karena ada hal-hal yang kurang elok," sesalnya.
Subanda menilai Jokowi akan dianggap publik sebagai pejabat negara yang inkonsisten dalam memberikan pernyataan. Ia melihat ketika dulu mantan Gubernur DKI Jakarta itu sempat mengatakan jika pejabat publik harus netral.
"Pernah dulu ya, saya lupa di mana, tapi ketika sekarang Gibran maju kok ada lagi pernyataan yang kontroversi, mungkin konteksnya juga beda ya. Tapi orang akan menganggap inkonsisten," katanya.
Kemudian, pernyataan itu juga bisa memperkeruh suasana pemilu saat ini. Padahal, posisi presiden sebagai simbol demokrasi suatu negara.
"Dia adalah bapak bangsa dan di situ Jokowi itu sentral sekali posisinya. Ketika simbol ini tidak bisa dipercaya, bisa keruh karena simbolnya seperti ini. Siapa yang akan kita jadikan panutan," tutur pria lulusan Universitas Gadjah Mada itu.
(dpw/dpw)