Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali Women Crisis Center (WCC) mengungkap adanya keresahan perempuan Bali saat memutuskan menikah. Perempuan Bali takut tidak bisa bekerja dan dihadapkan pada kegiatan adat yang kompleks sesudah menikah.
Hal ini pun diakui oleh sejumlah perempuan di Pulau Dewata. Widya Gita, salah satu perempuan yang mengaku cemas untuk menikah dengan segala bentuk adat istiadat di Bali.
"Ada ketakutan dan resah untuk menikah dengan segala adat istiadat di Bali menjadi kekhawatiran untuk menikah cepat," kata Gita melalui pesan WhatsApp, Kamis (7/12/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi itu menjadikan Gita dan kekasihnya melakukan pertimbangan secara matang untuk menikah, terlepas dari segala macam masalah yang ada. Apalagi Gita dan kekasihnya kini masih dalam tahap membangun karir, usaha, dan membenahi masalah di keluarga masing-masing.
Gita mengungkapkan keresahan untuk menikah dirasakan sejak ia memutuskan untuk pindah dan menetap di Bali. Gita sebelumnya di Bali hanya merantau dan kegalauan mengenai pernikahan sebelumnya hanya didengar melalui cerita.
Sejak pulang ke rumah asal orang tuanya di Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Gita mulai merasakan sibuknya kegiatan adat istiadat di Bali. Ia kemudian belajar untuk menyama braya (bermasyarakat).
"Di sanalah saya mulai melihat segala macam budaya tradisi yang ada, sehingga di saat tertentu seperti hari rahinan yang cukup berentetan membuat saya berpikir khawatir apakah nanti saya bisa membagi waktu saya untuk me-adat, keluarga, kerjaan, karir dan lainnya," ujar Gita.
Gita menegaskan jika dirinya tetap ingin bekerja setelah menikah nantinya. Salah satu alasan untuk bekerja yakni sebagai bentuk aktualisasi diri.
"Sebagai perempuan saya tetap ingin berdaya, bermanfaat bagi diri saya, keluarga dan orang lain dan materi itu sebagai bonus untuk memenuhi kebutuhan hidup," ujar Gita.
"Sebagai perempuan saya merasa tidak bisa diam saja dan harus ikut membantu suami juga karena suatu saat menikah adalah tentang hak dan kewajiban berdua bukan hanya salah satu saja yang berjuang," tambahnya.
Biaya hidup yang tinggi di Bali juga menjadi alasan Gita untuk tetap bekerja setelah menikah. Belum lagi hidup sebagai orang Hindu Bali banyak pengeluaran tambahan untuk keperluan upacara agama.
Bagi Gita, kebutuhan upacara untuk anak dari lahir sampai menikah hingga upacara kematian (ngaben) di Bali membutuhkan biaya yang tidak sedikit. "Belum lagi teman kerabat yang punya acara, juga kami mesti menyama braya. Jadi pengeluaran untuk biaya di Bali cukup lumayan sehingga harus ekstra untuk kerja dan mengatur segala halnya," ungkap Gita.
Bahkan Gita juga sempat browsing mengenai persentase pengeluaran orang Bali yang terbesar, selain kebutuhan pokok adalah upakara. "Jadi tidak ada alasan untuk kami sebagai perempuan untuk diam saja, selagi masih bisa berdaya ayo ikut bergerak bekerja bermanfaat," tegasnya.
Selain Gita, Ni Luh Meisa Wulandari sebagai salah satu perempuan di Bali yang mengakui jika ia merasakan hal serupa. Remaja asal Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, itu menyebut peran perempuan begitu kompleks sehingga ada rasa takut untuk menikah.
"Belakangan ini peran seorang perempuan Bali sangatlah kompleks terlebih lagi ketika seorang perempuan memasuki masa grhasta (asrama) atau pernikahan, agaknya membuat perempuan merasa dibayangi oleh rasa takut untuk menikah," kata Meisa kepada detikBali, Kamis (7/12/2023).
Menurut Meisa, ada tiga hal yang harus bisa dilakukan oleh seorang perempuan Bali yang sudah menikah. Ketiga hal itu yakni memiliki peran dalam ekonomi, bisa menempatkan diri sebagai ibu rumah tangga, dan wajib memiliki kemampuan sosial di masyarakat sesuai adat istiadat yang berlaku.
Di dalam peran ekonomi, tuntutan pekerjaan yang dihadapi oleh perempuan juga cukup kompleks. Tuntutan pekerjaan yang tinggi seringkali menghambat kegiatan sosial di masyarakat, terlebih urusan adat di Bali tidak bisa ditinggalkan.
"Hal ini seringkali memicu kegagalan dalam melaksanakan kedua proses ini sehingga perempuan selalu dihadapkan pada pilihan, pilihan untuk berhenti meraihnya mimpinya dalam meniti karir adalah hal yg biasa," ungkap Meisa.
Remaja lulusan D3 Terapis Gigi dan Mulut itu mengungkapkan jika perempuan Bali memang harus pintar mengatur waktunya, baik dengan urusan pekerjaan, rumah tangga serta kewajiban terkait adat istiadat.
Meski berbagai kewajiban menanti, Meisa mengaku tetap akan memilih untuk bekerja setelah menikah nantinya. Perempuan yang bekerja di Puskesmas Kintamani itu memilih tetap bekerja guna mengaplikasikan ilmunya yang didapatkan ketika kuliah.
"Saya D3 Terapis Gigi dan Mulut. (Setelah menikah maunya) tetep kerja, kasihan ilmunya kalau nggak kerja," jelas Meisa.
(nor/dpw)