Rencana pembangunan Pelabuhan Sangsit di Desa Sangsit, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng diprotes oleh sejumlah organisasi aktivis lingkungan. Organisasi yang memprotes yakni Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Front Demokrasi Perjuangan Rakyat (Frontier), dan Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup (KEKAL).
Direktur WALHI Bali Made Krisna Dinata menerangkan rencana pembangunan Pelabuhan Sangsit berpotensi memperparah abrasi di kawasan pesisir sekitar proyek. Sebab secara teknis, proyek ini akan melakukan pengerukan seluas 6,4 hektare dengan volume keruk sebanyak 500 ribu meter kubik.
"Tentu hal ini akan berdampak terhadap perubahan arus dan gelombang yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat sekitar terutama terhadap produktivitas nelayan setempat," kata pria yang akrab disapa Bokis itu dalam siaran persnya kepada detikBali, Jumat (1/9/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain pengerukan, Bokis juga menyoroti pemasangan pemecah gelombang (breakwater) dalam pengembangan Pelabuhan Sangsit. Ia menilai hal itu tentunya akan menyebabkan erosi di kawasan pesisir sekitar pelabuhan.
"Kami menduga jika proyek ini akan memperparah abrasi di pesisir dan menambah penyusutan di Bali," tegasnya.
Perwakilan dari Frontier Bali I Wayan Sathya Tirtayasa juga mengkritisi pembangunan proyek tersebut. Pasalnya terdapat 26.193 meter persegi lahan persawahan produktif akan diterabas untuk akses jalan dan bangunan Pelabuhan Sangsit.
Menurutnya, lahan sawah yang diterabas terkonfirmasi merupakan kawasan penyedia pangan dengan intensitas tinggi. Karena itu, pembangunan Pelabuhan Sangsit berpotensi menambah laju alih fungsi lahan di Bali.
"Jika dikalkulasikan lahan seluas 26.193 meter persegi akan berpotensi menghilangkan produksi beras sebanyak 2,6 ton per tahunnya," jelas Sathya.
Sementara itu, Divisi Advokasi KEKAL Bali I Made Juli Untung Pratama juga mempertanyakan penggusuran yang berpotensi terjadi jika pembangunan pelabuhan Sangsit dilaksanakan. Pada pertemuan awal, terdapat setidaknya 63 bangunan rumah warga akan terdampak karena berpotensi digusur.
Terlebih, kata dia, dokumen Formulir Kerangka Acuan Pengembangan Kawasan Terintegrasi Pelabuhan Sangsit tidak menjelaskan penanggulangan dari aktivitas tersebut. Dokumen itu juga tidak menyebutkan dimana lahan yang akan diperuntukan untuk relokasi bagi warga terdampak.
Disamping itu, dokumen juga tidak menyertakan notulensi konsultasi pelibatan masyarakat terdampak. Maka dari itu, pihaknya tidak mengetahui tanggapan dari masyarakat sekitar terkait proyek Pelabuhan Sangsit. "Sehingga dokumen ini kami nyatakan cacat," tegas Untung Pratama.
Untuk diketahui, ketiga organisasi itu menyampaikan protes dalam pembahasan Formulir Kerangka Acuan Pengembangan Kawasan Terintegrasi Pelabuhan Sangsit. Pertemuan itu dipimpin Kepala Bidang Penataan, Pemantauan dan Pengawasan Kopertis Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali Ida Ayu Dewi Putri Ary. Hadir pula I Gede Nyoman Ary yang mewakili pemrakarsa atau Dinas Perhubungan Provinsi Bali.
Ketiga organisasi itu pun menyampaikan surat tanggapan yang berisikan tuntutan untuk menghentikan segala bentuk pembangunan yang berpotensi memperparah abrasi dan menerabas lahan persawahan di Bali. Surat protes dilayangkan ke Kepala DKLH Provinsi Bali dan diterima langsung oleh pimpinan rapat.
(dpw/gsp)