Perwakilan Ombudsman Provinsi Bali mengimbau desa adat mendaftarkan awig-awig (aturan adat) di Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali. Ini agar awig-awig terverifikasi dan tidak berbenturan dengan Peraturan Daerah Bali dan norma hukum nasional. Selain itu, awig-awig juga perlu disosialisasikan kepada warga pendatang.
Ombudsman menerima sejumlah pengaduan yang mengeluhkan awig-awig desa adat terkait pungutan terhadap warga di wilayah tersebut, terutama warga pendatang.
"Ke depan, amanat dari peraturan daerah sendiri bahwa awig-awig juga didaftarkan di Dinas Pemajuan Desa Adat Provinsi Bali. Sehingga, bisa terverifikasi dan tidak menabrak norma secara hukum nasionalnya," kata Kepala Perwakilan Ombudsman Provinsi Bali Ni Nyoman Sri Widhiyanti kepada wartawan, Rabu (3/5/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sri juga mengimbau agar desa adat mendaftarkan besaran 'dudukan' (semacam kontribusi atau pungutan) di Dinas Pemajuan Desa Adat Bali. Pendaftaran dudukan juga akan menjadi dasar hukum penetapan besaran kontribusi kepada warga di desa adat yang bersangkutan.
"Karena keluhan yang masuk bahwa masing-masing desa adat besaran (kontribusi atau pungutannya) tidak sama. Ada juga mempertanyakan, apa yang menjadi dasar perhitungan? Jadi memang harus ada standardisasi soal dudukan ini," kata Sri.
Sri berpendapat, dudukan yang diatur dalam awig-awig sebenarnya sudah legal dan diakui negara. Hanya saja, ketika awig-awig dan dudukan itu didaftarkan di Dinas Pemajian Desa Adat, akan semakin jelas dasar hukumnya dalam konstitusi negara.
Untuk itu, dia berharap semua desa adat mendaftarkan awig-awig dan dudukan ke Dinas Pemajuan Desa Adat, termasuk pararem (aturan pelaksanaan awig-awig) di dalamnya. Sebab, dari 1.493 desa adat di Bali, hanya sekitar 100-an yang sudah mendaftarkan awig-awignya di Dinas Pemajuan Desa Adat dan hanya satu pararem khusus dudukan dari Desa Adat Tanjung Benoa saja.
Sementara itu, anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng tidak mempermasalahkan soal kontribusi atau dudukan yang memang sudah diakui secara hukum dan konstitusi negara. Hanya, penetapan besaran dudukan dan awig-awig hendaknya melibatkan banyak pihak.
Termasuk, melibatkan masyarakat pendatang di tiap desa adat. Sebab, masih banyak pendatang yang tidak terlalu memahami konteks desa adat dalam kebudayaan Bali.
"Soal proses partisipasi dalam penyusunan regulasi yang mengatur kewenangan pungutan. Kemudian, transparansi pengelolaan dana hasil pungutan dan sosialisasi jangan lupa. Kepada semakin banyak orang dan sesering mungkin," kata Robert.
(hsa/BIR)