Dua orang pemandu wisata atau guide dihukum 7 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Labuhan Bajo. Kedua guide bernama Kanisius Mite (53) dan Ni Made Suciati (52) itu terbukti menyalakan petasan di Taman Nasional Komodo, Labuhan Bajo.
"Menyatakan Terdakwa I Kanisius Mite alias Kanis, Terdakwa II Ni Made Suciati alias Kadek tersebut di atas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona lain dari taman nasional. Menjatuhkan pidana kepada Para Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing selama 7 bulan dan denda sejumlah Rp 30 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka harus diganti dengan pidana kurungan masing-masing selama 3 bulan," demikian bunyi putusan PN Labuhan Bajo yang dikutip detikcom, Selasa (27/12/2022).
Vonis terhadap kedua terdakwa diketok oleh ketua majelis hakim Anak Agung Seagung Yuni Wulantrisna dengan anggota Sikhamidin dan Nicko Anrealdo. Menurut majelis, perbuatan keduanya menjadi contoh buruk bagi masyarakat umum maupun bagi para pelaku wisata.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Perbuatan Para Terdakwa mengancam keberlangsungan ekosistem dan habitat kalong di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK)," ungkap majelis.
Diketahui, kedua terdakwa menyalakan petasan saat sedang memandu wisatawan dari atas kapal di perairan Pulau Kalong, Taman Nasional Komodo, 31 Maret 2022 petang. Ketika rombongan dekat dengan habitat kelelawar, keduanya menyalakan petasan atau kembang api. Kebetulan, ketika itu ada wisatawan yang sedang berulang tahun.
"Terdakwa I dan Terdakwa II tidak ada menyampaikan atau mengingatkan para tamu mengenai larangan menyalakan kembang api/petasan di area Taman Nasional Komodo, khususnya di perairan Pulau Kalong, melainkan menjadi pihak yang mendukung kegiatan yang dilakukan para tamu dengan cara menyiapkan kembang api/petasan yang akhirnya dinyalakan di area Taman Nasional Komodo khususnya di perairan Pulau Kalong," ujar majelis.
Majelis menilai, dalam sistem hukum pidana, dikenal suatu asas yang disebut dengan in dubio pro reo, yang dasar penggunaannya diberikan pada kondisi adanya presumption of innocence. Jika terdapat lebih dari satu penafsiran hukum, yang dipilih adalah hal-hal yang menguntungkan terdakwa. Penerapan asas in dubio pro reo ini digunakan apabila majelis hakim berdasarkan alat bukti yang ada namun masih memiliki keragu-raguan mengenai bersalah atau tidak bersalahnya terdakwa.
"Hal ini dikarenakan keterkaitan antara hukum acara pidana dengan asas in dubio pro reo, sistem pembuktian negara Indonesia memakai sistem 'negatief wettelijk', yaitu keyakinan yang disertai dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, yang mana sesuai dengan ketentuan Pasal 183 Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan asas in dubio pro reo berlaku bagi hukum pidana, akan tetapi pada penegakan hukum lingkungan dalam perkara in cassu juga dikenal suatu konsep, yaitu asas in dubio pro natura, yang diartikan, jika dalam menangani suatu perkara hakim mengalami keragu-raguan mengenai bukti, hakim mengedepankan perlindungan lingkungan dalam putusannya," urai majelis.
Menurut hakim, konsep ini merupakan turunan dari prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yang dirumuskan dalam Deklarasi Rio tahun 1992. Penerapannya juga tidak terbatas pada masalah lingkungan dan kesehatan.
"Dalam hal menuntut kita untuk tidak menyakiti sesuatu dengan tindakan kita dan pembuktian kerusakan lingkungan harus merujuk pada mekanisme projustisia, sehingga jika proses pembuktian ilmiah tidak bisa atau terlambat, maka harus mendahulukan kepentingan perlindungan lingkungan karena tujuan dari prinsip kehati-hatian adalah perlindungan yang memadai untuk lingkungan, baik demi lingkungan itu sendiri maupun untuk kebaikan umat manusia dan secara umum," ungkap majelis.
(iws/iws)