Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali segera membuat sertifikat usai berselisih soal kepemilikan tanah dengan warga Banjar/Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali. Pembuatan sertifikat dilakukan untuk mengamankan aset daerah.
"Langkah ke depan, karena ini sudah ada kesepakatan maka mekanismenya akan mengamankan aset melalui pensertifikatan," kata Kepala Unit Pelaksana Tugas Daerah (UPTD) Pengelolaan Barang Milik Daerah Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Bali I Wayan Budhiyasa kepada wartawan di Kantor DPRD Bali, Selasa (27/12/2022).
Masyarakat Desa Canggu berselisih tanah dengan Pemprov Bali lantaran sama-sama mempunyai dokumen otentik. Tanah yang menjadi objek berselisih berada di Desa Canggu dengan luas kurang lebih 1,1 hektar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua belah pihak sudah sepakat untuk saling berbagi tanah tersebut guna menghindari konflik berkepanjangan. Warga Desa Canggu mendapatkan 60 persen dan Pemprov Bali 40 persen dari total luas tanah. Nantinya juga akan dilakukan pengukuran ulang.
Menurut Budhiyasa, setelah terjadi kesepakatan, masyarakat sesuai dengan dokumen yang dimiliki akan membuat sertifikat dengan anggaran yang akan mereka siapkan. Kemudian Pemprov Bali juga sesuai dengan dokumen yang dimiliki juga bakal membuat sertifikat menggunakan anggaran yang dibiayai dari APBD.
"Setelah bersertifikat sudah sama-sama aman, walaupun luasannya berkurang. Karena tidak serta merta luasan tercatat pun kalau kita ukur belum tentu sama, bisa lebih bisa kurang sesuai dengan kondisi di lapangan," jelas Budiyasa.
Budiyasa menuturkan, sebenarnya Pemprov Bali mempunyai dokumen berupa bukti dasar tanah terkait objek yang menjadi sengketa. Buku dasar tanah itu menyebutkan bahwa terdapat Persil 56 kelas 2 Desa Canggu seluas 1,1 hektar.
Sementara di lapangan, ternyata warga juga punya dokumen. Warga Desa Canggu itu memegang dokumen berupa pipil nomor 54 yang luasnya hampir sama yakni 1,130 meter persegi atau 1 hektar koma 130 are.
"Nah karena mereka punya dokumen, pemerintah provinsi pun punya dokumen, ini perlu win-win solution penyelesaian ini tanpa harus melanggar aturan yang ada. Oleh sebab itu ini perlu segera diselesaikan. Jangan sampai ada sengketa tanah dengan masyarakat tanpa ada jalan keluar," kata dia.
Menurut Budhiyasa, Gubernur Bali Wayan Koster telah memikirkan mekanismenya penyelesaian sengketa dengan merujuk aturan yang ada. Koster telah mengambil keputusan sesuai dengan yang disampaikan oleh Ketua DPRD Bali I Nyoman Adi Wiryatama, yakni 60 persen tanah untuk masyarakat dan 40 persen untuk Pemprov Bali.
"Nah itu win-win solution, karena sama-sama punya dokumen. Terlepas asli atau palsu. Kami bukan melihat asli atau palsu. Yang penting berdasarkan kita lihat dokumen yang ada ternyata memang bisa dipertanggungjawabkan menurut kami. Terlepas dari apakah asli palsu," ungkapnya.
"Nah karena sama-sama punya dokumen maka ini harus dicarikan jalan keluar. pemerintah tidak menyalahi aturan, asetnya tetap walaupun luasannya yang berkurang. Masyarakat pun karena dia punya dokumen yang bisa dipertanggungjawabkan haknya terpenuhi, inilah solusinya," tambahnya Budiyasa.
Setelah kedua belah pihak sepakat, Budiyasa berharap bahwa permohonan sertifikatnya terkait tanah yang sempat bersengketa itu bisa dimulai pada Januari 2023. Ia berharap sertifikat dapat selesai dalam waktu yang tidak lama.
"Kami harapkan di bulan Januari tahun depan ini sudah kita proses permohonan sertifikatnya. Mudah-mudahan tidak lama. Ya paling lama dua (sampai) tiga bulan sudah terbit sertifikatnya. Demikian juga dengan masyarakat, nanti kita sama-sama masukkan," terangnya.
(iws/hsa)