Prajuru atau pengurus Pura Luhur Batukau di Kecamatan Penebel, Tabanan, Bali, mulai melakukan penanaman 7 ribu batang pohon, Rabu (14/12/2022). Ini dilakukan untuk mempertahankan kondisi vegetasi di sekitar Pura Luhur Batukau yang terhitung sebagai hutan lindung. Upaya perlindungan terhadap hutan lindung Batukaru juga dilakukan melalui penerapan hukum adat.
Bendasa Adat Wangaya Gede yang juga Ketua Umum Pengurus Pura Luhur Batukau, I Ketut Sucipto mengatakan, penanaman 7 ribu pohon itu akan dilakukan secara bertahap di seluruh wewidangan atau wilayah hutan yang dikelola pengurus Pura Luhur Batukau. Beberapa jenis pohon yang ditanam antara lain alpukat, kesuwa, cempaka, kwanitang.
"Luasnya hampir 200 hektar sesuai yang diberikan oleh Perhutanan Sosial," jelas Sucipto.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, upaya penanaman ribuan pohon itu masih perlu dilakukan meski kondisi vegetasi di hutan lindung pada lereng Gunung Batukaru masih terlihat hijau. Pihaknya mengajak masyarakat dari 8 desa adat selaku pekandelan atau pihak yang bertanggung jawab mengurus Pura Luhur Batukau melakukan penanaman. Termasuk kepada pihak-pihak lainnya.
"Setelah melakukan kajian selama 3 tahun, kami melihat memang masih hijau, namun setelah masuk ke dalam (hutan), ada beberapa jenis pohon besar yang langka," kata Sucipto.
"Yang langka, seperti Kesuwa, kami tanam lagi. Apalagi itu termasuk yang dilindungi. Idealnya (pohon Kesuwa) ada di puncak gunung. Tapi kami coba di lingkungan sekitar pura juga," sebutnya.
Ketut Sucipto menambahkan, selain mempertahankan vegetasi, kegiatan penanaman 7 ribu pohon ini juga untuk menjaga status hutan lindung pada kaki Gunung Batukaru sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat di Tabanan. Salah satunya sebagai tempat resapan air.
"Hutan lindung inilah yang menjadi tempat resapan air pertama sebelum mengalir ke berbagai tempat di Tabanan. Bahkan sampai Denpasar," beber Sucipto.
Menjaga Hutan dengan Hukum Adat
Selain menggiatkan penanaman pohon langka, upaya menjaga kelestarian hutan lindung Batukaru dilakukan dengan cara menerapkan hukum adat. Hukum adat ini dicantumkan ke dalam pararem atau penjabaran dari awig-awig di 8 desa adat selaku pekandelan atau yang bertanggung jawab mengurus Pura Luhur Batukau.
Kedelapan desa adat itu antara lain Wangaya Gede, Keloncing, Bengkel, Sandan, Amplas, Batukambing, Tengkudak, dan Penganggaran.
"Kami terapkan dalam pararem atau awig-awig (hukum adat) di 8 desa adat yang menjadi pekandelan di pura ini," sebut Bendesa Adat Wangaya Gede sekaligus Ketua Umum Pengurus Pura Luhur Batukau, I Ketut Sucipto.
Ia mengatakan, pihaknya menghargai keberadaan hukum positif bagi pelaku pelanggaran di kawasan hutan lindung. Terutama yang melakukan penebangan liar.
"Tetapi tidak ada salahnya juga menerapkan hukum adat. Di sana tidak hanya hukuman badan dalam bentuk kurungan, tetapi ada hukum moral dan sosial," tegasnya.
Sucipto menjelaskan, hukum adat bagi pelaku penebangan liar dilaksanakan dengan menerapkan arta danda dan jiwa danda. "Orang yang salah bisa dihukum dengan mengembalikan apa yang dia rusak atau tebang. Itu arta danda. Di sana ia harus mencari atau membeli bibitnya," jelasnya.
Berikutnya jiwa danda, lanjut Sucipto, dilakukan dengan melaksanakan upacara yang seluruh biaya sarana dan pelaksanaannya ditanggung pelaku penebangan liar. "Dia (pelanggar) yang menanggung semua," tegasnya.
Menurutnya, pada era 70-an, aktivitas penebangan kayu di hutan lindung Batukaru masih terjadi. Itu dilakukan untuk keperluan membuat bangunan atau dijual untuk kepentingan ekonomi. Namun sejak memasuki era 90-an, hal itu dihentikan karena menyadari fungsi penting hutan lindung Batukaru.
"Kalau tidak ada pura ini (Pura Luhur Batukau) kawasan sini (hutan lindung) pasti rusak. Karena itu, kami terapkan pola budaya, adat, dan dresta (ketentuan lokal) untuk menjaganya. Kami melihat lingkungan di sekitar Pura Luhur Batukau sebagai sumber kehidupan," pungkasnya.
(iws/hsa)